UU Cipta Kerja dan Hunian untuk WNA



KONTAN.CO.ID - Undang Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja memberikan status hak milik kepada warga negara asing (WNA) terhadap rumah susun yang dimiliki. Status hak milik diberikan, karena menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, ketentuan sebelumnya menghambat orang asing bekerja di Indonesia.

Perlu diluruskan, bahwa ketentuan sebelumnya tidaklah menghambat maupun melarang WNA untuk memiliki hunian di Indonesia. Hanya saja alas hak tanahnya dibatasi sepanjang hak pakai dengan jangka waktu selama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui 30 tahun (total 80 tahun) yang ada di UU No.5/1960 jo. PP No. 103/2015.

Nah, tujuan Cipta Kerja sendiri adalah mendongkrak investasi asing guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Terlepas dari tujuan mulia beleid ini, masih terdapat kontroversi terkait pemberian status hak milik rumah susun kepada WNA.


Pertama, secara konstitusional, Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan khusus mengenai hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai berlaku UU No.5/1960 dan PP No.40/1996. Ketentuan Pasal 143 jo. Pasal 145 UU Cipta Kerja mengenai pemberian Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMRS) kepada WNA diatas HGB adalah eror in persona.

Pasalnya, dalam UU No.5/1960 dan PP No.40/1996, subjek hukum atas hak milik, HGU, dan HGB adalah WNI dan Badan Hukum Indonesia. Sedangkan WNA hanya diberikan status hak pakai dan hak sewa.

Kedua, secara yuridis, ketentuan pemberian Hak Milik Rumah Susun kepada WNA diatas HGB tumpang tindih dengan Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun yang menyatakan pemanfaatan tanah milik negara untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan. Sehingga terdapat konflik norma antara UU Cipta Kerja dan UU Rumah Susun.

Ketiga, tidak sejalan dengan asas kenasionalan, asas sosialisme Indonesia, dan asas larangan pemindahan hak milik kepada WNA sebagai asas hukum agraria dan asas hukum perumahan dan pemukiman. Dalam konteks kepemilikkan tanah, kepentingan dan kebutuhan WNI harus diistimewakan dan diutamakan.

Gagasan untuk mengistimewakan warga negara juga mendapat alasan pembenar secara teori, sebagaimana tersebut dalam nukilan Jhon Chesterman dan Brian Galligan: citizenship has traditionally been an exlusory category because citizens have basic rights and privilages that non citizens do not share (warga negara secara tradisional merupakan kategori eklusif karena warga negara memiliki hak dasar dan hak istimewa yang tidak dimiliki oleh non warga negara).

Keempat, mendegradasi fungsi sosial atas keberadaan tanah negara. Pada prinsipnya, tanah dikuasi negara ditujukan untuk kepentingan warga negara. Bahkan, lewat tanah negara itu dapat dijadikan objek reforma agraria untuk dibagikan kepada rakyat miskin yang tidak punya tanah atau rumah demi mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, mengabaikan hasil kajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (2013), mengenai Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perumahan Rakyat, yang menyebutkan bahwa WNA tidak dapat memiliki sertifikat hak milik rumah susun yang dibangun diatas HGB.

Satuan rumah susun yang dibangun diatas alas hak tanah tertentu akan mempunyai karakter yang sama dengan alas haknya. Hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk orang Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh WNA hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah. Negara seperti China, Singapura dan Malaysia saja hanya memberikan land use atau land rent, bukan land right terhadap penguasaan tanah WNA didalam negerinya.

Sengketa pertanahan

Badan Pertanahan Nasional mencatat 70% persidangan di pengadilan adalah terkait perkara tanah. Beberapa putusan pengadilan menunjukkan WNA juga terseret dan menjadi pihak yang bersengketa dalam perkara perdata maupun tindak pidana atas kepemilikkan hak atas tanah.

Pertama, putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.34/Pdt.G/2002/PN.Gir jo. Pengadilan Tinggi Denpasar No.18/Pdt/2004/PT.Dps perkara antara WNA dengan WNI terkait pemberian kuasa terhadap SHM tanah WNI kepada WNA melalui perjanjian peminjaman uang. Dalam Putusan tersebut, perjanjian peminjaman uang dengan WNA batal demi hukum dan sertifikat hak milik harus dikembalikan kepada pihak WNI sebagai pemilik yang sah.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.368/Pdt.G/2005/PN.Dps jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.31/Pdt/2007/Pdt.Dps jo. Putusan Kasasi No.170 K/Pdt/2008 jo. Putusan PK No.302 PK/Pdt/2011 perkara antara WNA dengan WNI terkait Akta Pengakuan Utang dan Jaminan SHM pada dua bidang tanah atas nama WNI. Putusan tersebut menyatakan bahwa akta pengakuan utang yang dibuat antara WNA dengan WNI adalah perjanjian pura-pura agar para penggugat sebagai orang asing dapat mempunyai tanah di Bali, oleh karena itu akta pengakuan utang batal demi hukum.

Akuisisi hak milik atas tanah WNI oleh WNA melalui perjanjian pinjam nama (nominee) tidaklah dapat dibenarkan secara hukum, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Meskipun asas hukum perjanjian menyatakan perjanjian itu berlaku layaknya UU bagi para pembuatnya, namun setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan UU yang berlaku.

Ketiga, tanah juga menjadi objek tindak pidana. Yahong Zhang dan Cecilia Levena (London:2015) mengungkapkan urusan tanah paling banyak dikorupsi dan jadi objek kejahatan. Banyak pejabat korup membeli tanah dari hasil kejahatannya. Contohnya seperti kasus korupsi eks Bupati Bangkalan dua periode, Fuad Amin, dari kekayaan yang disita mencapai Rp. 500 Miliar sebagian besar berupa tanah dan bangunan.

Ditingkat global, tanah dan properti menjadi tempat pencucian uang terfavorit. "Uang ilegal" ditransformasikan kedalam bentuk instrumen ekonomi yang sah agar asal-usul kekayaan tidak diketahui. Hasil penelitian Middle East and North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF) pada 2011 di Timur Tengah dan Afrika Utara, menerangkan dari sekian banyak tindakan pencucian uang, bidang propertilah yang sering digunakan para pelaku untuk menyembunyikan kekayaannya.

Jika tanah dan sekuritisasinya menjadi korban kejahatan ekonomi global, maka dapat membangkrutkan perekonomian suatu negara. Itu sebabnya pembebanan hak dan pemberian sertifikat atas tanah tidak boleh asal diberikan, dimudahkan, dan dicepatkan. Check and balance kebijakan tetap harus ada untuk memitigasi resiko kerugian negara akibat kejahatan properti (real property crime).

Penuli : Agung Hermansyah

Associate Lawyer di NA Lawyer

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti