KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja turut menyasar sektor energi baru terbarukan (EBT), khususnya panas bumi. Dalam beleid terbaru ini, pemerintah pusat memiliki berbagai kewenangan strategis terkait pengembangan dan pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Dalam Pasal 41, UU Cipta Kerja membuat beberapa perubahan ketentuan dalam UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Salah satu perubahan tersebut ada di Pasal 6. Di sini tertulis bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan panas bumi meliputi:
- Pembuatan kebijakan nasional
- Pengaturan di bidang panas bumi
- Perizinan berusaha terkait panas bumi
- Pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria untuk kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung
- Pembinaan dan pengawasan
- Pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi panas bumi
- Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan panas bumi
- Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, dan/atau pemanfaatan panas bumi
- Pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan perekayasaan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menyampaikan, pada dasarnya terminologi ‘pemerintah pusat’ konsisten dipakai di seluruh bagian UU Cipta Kerja. Ia menilai, hal ini sebagai upaya untuk menekankan kedudukan pemerintah pusat yang lebih tinggi terhadap pemerintah daerah.
Baca Juga: Airlangga Hartarto tegaskan pemerintah tidak hapus upah minimum di UU Cipta Kerja Selama ini, harus diakui bahwa kendala pengembangan panas bumi di Indonesia seringkali berasal dari perizinan yang berbelit-beli di ranah pemerintah daerah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak terbitnya UU No. 21/2014, perizinan di tingkat daerah hanya ada pada pemanfaatan langsung. “Sedangkan untuk lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat,” imbuh dia, Rabu (7/10). Untuk mendorong peningkatan pemanfaatan panas bumi, instrumen-instrumen pendukung yang utama memang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Misalnya dalam hal kebijakan, regulasi, pendanaan, mitigasi risiko seperti pengembangan panas bumi di kawasan konservasi, dan sebagainya. “Jadi tidak banyak yang bisa dilakukan daerah untuk mendorong utilisasi panas bumi untuk pembangkitan listrik, kecuali dalam hal perizinan pemanfaatan untuk lokal,” kata Fabby. Lebih lanjut, UU Cipta Kerja di atas kertas mungkin saja dapat menyelesaikan sejumlah persoalan terkait kepastian berusaha dan perizinan yang berbelit-beli. Namun, Fabby berpendapat, pengembangan panas bumi berhadapan dengan tantangan-tantangan yang unik dan tidak semuanya bisa dijangkau atau diatasi oleh UU Cipta Kerja. Artinya, butuh inovasi kebijakan dan regulasi untuk menarik investasi di sektor panas bumi, sehingga potensinya bisa dioptimalkan. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priyandaru Effendi belum bisa bicara banyak mengenai ketentuan kewenangan pemerintah pusat di sektor panas bumi dalam UU Cipta Kerja.
Kendati begitu, ia menilai, secara prinsip penguatan wewenang pemerintah pusat cukup penting dalam rangka memangkas kendala birokrasi yang selama ini kerap terjadi di Indonesia. “Selain itu, birokrasi antar kementerian juga harus diselaraskan dan dipermudah,” imbuh dia. Adapun Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari yakin, adanya penegasan wewenang pemerintah pusat di UU Cipta Kerja akan berdampak pada percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia. Pengaturan tersebut juga cukup mengakomodasi cita-cita pemerintah yang ingin memudahkan investasi di sektor panas bumi. “Iya, bisa berdampak,” katanya. Sebagai catatan, Indonesia memiliki potensi panas bumi mencapai 23,9 gigawatt (GW). Sedangkan berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) mencapai 7.000 megawatt (MW) di tahun 2025.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat