UU Cipta Kerja Resmi Digugat Partai Buruh ke Mahkamah Konstitusi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang Cipta Kerja digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Adalah Partai Buruh yang secara resmi menyerahkan permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UU CK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin mengatakan, permohonan uji formil mempunyai sejumlah perbedaaan dengan permohonan yang diajukan sebelumnya oleh pihak lain.


Dalam permohonan Partai Buruh, argumentasi serta dalil permohonan menguraikan secara lebih spesifik dan mendalam. Baik dari sisi filosofis, teoritis, doktriner dan konsep hukumnya.

Menurut Said, dari sisi kepentingan dan representasi pemohon pun berbeda. Dengan diajukan langsung oleh Partai Buruh, maka warga negara yang diwakili kerugiannya atas pemberlakuan UU Cipta Kerja secara faktual lingkupnya lebih masif.

Secara administratif, permohonan uji formil UU Cipta Kerja ini sudah didaftarkan Partai Buruh secara online ke MK, tepat pada Hari Buruh Internasional. Terhadap permohonan itu, MK sudah memberikan tanda terima nomor 44/PAN.ONLINE/2023.

Said mengatakan, Partai Buruh memilih pendaftaran permohonan pada tanggal 1 Mei 2023 karena bertepatan dengan perayaan Mayday. Momentum itu dipilih untuk membangun persepsi dikalangan buruh bahwa Mayday adalah hari perlawanan terhadap UU Cipta Kerja.

"Untuk pendaftaran permohonan secara fisik pada hari ini kami lakukan karena aturannya memang menentukan demikian. Naskah permohonan, surat kuasa, dan daftar alat bukti tetap harus diserahkan secara fisik kepada Mahkamah Konstitusi," ujar Said dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/5).

Baca Juga: KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi Awal Mei 2023

Said menjelaskan, ada lima alasan yang dijadikan sebagai dalil untuk menjadi pertimbangan MK membatalkan UU Cipta Kerja.

Alasan pertama, UU Cipta Kerja termasuk pada saat masih berstatus Perpu, jelas-jelas telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Hal itu dinilai sebagai pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience).

Alasan kedua, aturan tentang cipta kerja yang dimuat dalam Perpu tidak memenuhi kondisi-kondisi serta unsur-unsur kegentingan memaksa yang sudah ditetapkan standarnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Partai Buruh berpendapat, materi muatan Perpu Cipta Kerja secara substansi sama saja dengan materi muatan dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Perpu sejatinya hanya dijadikan pemerintah sebagai instrumen hukum untuk menegasikan atau menganulir Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

"Oleh karena tidak ada norma dalam Perpu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum, maka Perpu Cipta Kerja jelas tidak memenuhi unsur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," ujar Said.

Alasan ketiga, pembentukan Perpu Cipta Kerja dan UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation).

Faktanya, prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna ini tidak dipenuhi dalam pembentukan Perpu dan UU Cipta Kerja. Tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat.

"Kalau pun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR," ungkap Said.

Said mengatakan, sebelum Perpu terbit, antara kelompok pengusaha, pemerintah, dan buruh sebetulnya sudah sempat membuat kesepahaman mengenai aturan ketenagakerjaan yang kelak akan dimuat dalam Perpu.

Tetapi begitu Perpu terbit, materi muatan atau isinya justru berbeda. Tidak ada satu pun hasil kesepahaman, khususnya masukan dari kelompok buruh yang diakomodir dalam Perpu.

"Mereka undang pemimpin buruh hanya untuk menggugurkan kewajiban bahwa syarat partisipasi masyarakat sudah dipenuhi. Ini kan jahat sekali. Model partisipasi semu semacam itu jelas tidak sesuai dengan konsep Meaningful Participation," jelas Said.

Alasan keempat, UU Cipta Kerja terbukti ditetapkan diluar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu.

Merujuk Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang dipertegas dengan penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), kekuasaan DPR dalam mengesahkan sebuah Perpu menjadi undang-undang tegas dibatasi.

Dalam UUD 1945, pembatasan itu pada pokoknya menentukan penetapan Perpu menjadi undang-undang hanya boleh dilakukan “dalam persidangan yang berikut”.

Agar klausul persidangan berikut dalam UUD 1945 tidak menimbulkan multi tafsir, maka UU PPP menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah “masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan."

Perpu Cipta Kerja diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022. Ini artinya, jika DPR hendak memberikan persetujuan dan menetapkan Perpu itu menjadi undang-undang, maka mereka harus lakukan hal tersebut di forum Rapat Paripurna masa sidang pertama yang jatuh pada tanggal 10 – 16 Januari 2023.

Faktanya, penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja justru baru dilakukan DPR pada Rapat Paripurna tanggal 21 Maret 2023.

Alasan kelima yang diajukan Partai Buruh untuk menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional adalah tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perpu dengan menggunakan metode omnibus law.

Dalam Pasal 42A UU PPP diatur, metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal, semisal undang-undang.

Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perpu.

Konstruksi hukum yang demikian disebabkan karena Pasal 42A UU PPP sudah ‘mewanti-wanti’ bahwa kalau mau membuat produk hukum dengan menggunakan metode omnibus law, maka harus dipenuhi dulu tiga syarat.

Syarat pertama, produk hukum itu terlebih dahulu harus disusun dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.

Kedua, rancangan peraturan perundang-undangan itu harus ditetapkan dalam sebuah dokumen perencanaan. Ketiga, dokumen perencanaan itu harus dimasukan dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Said mengatakan, Perpu Cipta Kerja berbentuk hukum darurat (state emergency law) yang jelas tidak didesain untuk memenuhi tiga syarat tersebut.

Karena sifat kemendesakannya, Perpu Cipta Kerja dibentuk tanpa harus melalui sebuah dokumen perencanaan, apalagi harus terlebih dahulu dimasukan dalam prolegnas.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah Perpu tidak mungkin dibentuk dengan metode omnibus law karena dia tidak mungkin mampu memenuhi syarat-syarat pembentukan produk hukum dengan metode omnibus law.

"Disinilah argumentasi bahwa Perpu Cipta Kerja cacat formil dan harus dinyatakan inkonstitusional menemukan korelasinya," imbuh Said.

Baca Juga: May Day, Sri Mulyani Sebut Kelompok Pekerja Pelaku Utama Penggerak Roda Perekonomian

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat