KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah daerah (pemda) harus bekerja keras melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah mulai tahun depan. Ini seiring pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) yang diperkirakan berdampak ke penurunan penerimaan pajak daerah. Pasalnya, dalam UU tersebut, ada beberapa penyederhanaan sejumlah objek pajak daerah yang berdampak terbatasnya sumber penerimaan asli daerah. Salah satunya melalui pengaturan tentang pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). PBJT sendiri merupakan penggabungan atas sejumlah jenis pajak, seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak parkir, pajak penerangan jalan dan pajak hiburan.
Baca Juga: Catat! Mulai Tahun Depan Rumah Kos Bebas Pajak Hotel Dalam UU HKPD, tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Adapun tarif tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD). Misalnya saja, dalam UU PDRD, pajak parkir ditetapkan maksimal sebesar 30% dan tarif pajak hiburan maksimal 35%. Kendati begitu, pemerintah daerah tetap diberi ruang untuk penetapan tarif pajak yang lebih tinggi pada jasa hiburan seperti diskotek, kelab malam, karaoke, bar, dan mandi uap paling rendah 40% dan maksimal 75%. Selain penyusutan tarif, rumah kos-kosan tidak termasuk dalam pengertian hotel sehingga tidak menjadi objek pajak daerah. Pada ketentuan sebelumnya yakni dalam UU Nomor 28/2029 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD), rumah kos-kosan dengan jumlah kamar lebih dari 10 dikategorikan sebagai hotel sehingga terutang pajak hotel. Oleh karena itu, wajib pajak yang memiliki kos-kosan dengan jumlah kamar lebih dari 10 akan dikenakan pajak dengan tarif tertinggi 10%. Nah, dengan berlakunya UU HKPD yang paling lambat dijalankan 5 Januari 2024 ini, rumah kos-kosan bukan lagi menjadi objek pajak barang dan jasa tertentu sehingga pemda tidak bisa memungutnya. Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, perubahan kos-kosan bukan menjadi objek pajak daerah sesuai dengan UU HKPD akan memberikan sentimen negatif terhadap penerimaan pajak daerah serta membuat penurunan penerimaan pajak daerah. Hal ini akan berdampak terutama untuk beberapa daerah yang memiliki objek andalan di sektor kos-kosan. Misalnya daerah yang mempunyai universitas atau kawasan industri. "Karena sebelumnya, daerah mendapat pemasukan sebesar 10% dari nilai sewa. Kategori tarif ini sangat besar, karena jumlahnya dikenakan atas omset atau nilai sewa, bukan atas keuntungan," ujar Ajib kepada
Kontan.co.id, Selasa (26/12). Dus, Ajib menyarankan supaya pemerintah daerah perlu mengoptimalkan penerimaan dari sektor lainnya untuk menutup kehilangan penerimaan dari sewa kos-kosan tersebut. "Misalnya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak restoran dan kafe," katanya.
Baca Juga: Berlaku Mulai 1 Januari 2024, Kemenkeu Sempurnkan Aturan Diskon PBB Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperkirakan, hadirnya UU HKPD tersebut tidak akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap penerimaan pajak daerah. Misalnya saja untuk perubahan rumah kos-kosan yang bukan lagi menjadi objek pajak daerah. Menurutnya, hal tersebut sudah tepat untuk dilakukan mengingat tarifnya yang cukup besar. Selain itu, kontribusinya ke penerimaan pajak juga relatif rendah lantaran belum banyak pemilik kos-kosan yang mendaftarkan usahanya. "Maka memang lebih baik dihilangkan saja pajak daerah untuk kosan. Biaya untuk mencari potensi usaha kosan terlalu tinggi," kata Huda. Selain itu, apabila menggunakan skema pajak final, maka dirinya menduga pendapatan rumah kos-kosan juga banyak yang di bawah Rp 500 juta sehingga tidak dikenakan pajak. "Mungkin bagi pemilik kos-kosan eksklusif bisa saja kena pajak penghasilan. Tapi saya rasa minim sih, kecuali di Jakarta yang harga sewa kosnya sudah melebihi UMR," terangnya.
Pemda Dituntut Kreatif Optimalkan Pajak Daerah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan, dampak pemberlakuan UU HKPD pada tahun depan terhadap penerimaan pajak atau restribusi daerah dapat bervariasi. Hal ini tergantung pada penerapan perubahan-perubahan yang diatur dalam undang-undang tersebut di pemerintah daerah. "Tujuan UU tersebut (UU HKPD) adalah untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan penguatan pajak dan retribusi daerah," terang Luky kepada
Kontan.co.id, Selasa (26/12).
Baca Juga: Sri Mulyani Beberkan 5 Provinsi dengan Pertumbuhan Pajak Daerah Tertinggi Untuk itu, guna memperluas potensi pajak dan restribusi daerah, Luky menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemda.
Pertama, diversifikasi sumber penerimaan, yakni daerah dapat mencari sumber penerimaan baru atau mendiversifikasi sumber-sumber yang sudah ada untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pajak atau retribusi tertentu.
Kedua, optimalisasi pajak yang sudah ada. Artinya, pemda bisa mengoptimalkan pengumpulan pajak dari sektor-sektor yang sudah ada dengan lebih efektif dan efisien.
Ketiga, meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak melalui pendekatan edukasi dan penegakan hukum yang lebih baik.
Keempat, pemda bisa melakukan modernisasi administrasi perpajakan/pemungutan retribusi dengan memanfaatkan teknologi informasi. Seperti sistem perpajakan elektronik dan pelaporan online.
Kelima, koordinasi antar daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk melakukan perbaikan data wajib pajak/sektor. Termasuk koordinasi lintas sektor, untuk penerimaan yang diperlukan koordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L).
Dan terakhir, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dapat secara tidak langsung meningkatkan potensi penerimaan pajak. Sebagai informasi, realisasi pajak daerah hingga akhir November 2023 telah mencapai Rp 212,26 triliun. Realisasi ini meningkat 3,8% YoY jika dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun 2022 sebesar Rp 204,51 triliun.
Baca Juga: Kemenkeu Merilis Aturan Baru Terkait Insentif Fiskal Daerah Tahun Anggaran 2024 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat