UU PNBP akan direvisi, empat hal penting diubah



Jakarta. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan perpajakan merupakan pilar utama dalam menopang penerimaan negara. Mengingat pentingnya peran PNBP, revisi undang-undang PNBP penting dilakukan agar lebih optimal menggenjot penerimaan negara.

Direktur PNBP Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, Mariatul Aini menyampaikan ada emapt isu strategis dalam pengelolaan PNBP. Pertama, penetapan tarif PNBP saat ini belum optimal sebab harus dilakukan melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang prosesnya cukup panjang.

Dengan melalui PP, kementerian dan lembaga enggan melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi penetapan jenis dan tarif PNBP, padahal potensinya cukup besar. "Pembaruannya yaitu penetapan tarif saat ini melalui peraturan menteri (Permen) yang prosesnya lebih singkat," ujar Aini di Kompleks DPR, Kamis (20/10).


Kedua, penguatan fungsi verifikasi dan pemeriksaan. Hal ini dilakukan mengingat kewajiban pembayaran PNBP khususnya Sumber Daya Alam (SDA) non migas belum terverifikasi dengan baik. Aini mencontohkan dari 17.000 wajib bayar (WB) SDA non migas, kurang dari 100 WB yang mampu diperiksa oleh BPKP setiap tahunnya.

Ketiga, pengaturan pemberian insentif kepada instansi pengelola PNBP. Hal ini supaya lebih memacu kementerian dan lembaga untuk meningkatkan PNBP-nya.

Sebab dengan belum adanya insentif yang memadai untuk para pengelola PNBP mengakibatkan keengganan Kementerian atau Lembaga dalam menetapkan target secara realistis.

"Kelima penegakan hukum dalam pengelolaan PNBP belum optimal. Bagi kementerian dan lembaga yang tidak melakukan pengelolaan dengan baik, akan diberikan sanksi tegas," paparnya.

Selain empat isu krusial itu memang masih ada beberapa poin perubahan lainnya, seperti pengertian PNBP yang dulunya merupakan penerimaan di luar perpajakan saat ini menjadi penerimaan negara di luar perpajakan dan hibah. "Sebab dalam UU Keuangan Negara hibah diatur sebagai penerimaan tersendiri," ungkapnya.

Kemudian dalam revisi ini juga mengubah pasal terkait penggunaan PNBP yang tadinya hanya bisa digunakan oleh unit yang menghasilkan PNBP. Namun dalam perubahan ini bisa digunakan oleh unit lain yang masih dalam satu K/L. "Misal di Ditjen Imigrasi ada PNBP maka Ditjen lainnya sekarang bisa menggunakan PNBP sesuai kebutuhan," ungkapnya.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transfaransi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto menyampaikan ada beberapa hal yang luput dalam revisi UU PNBP ini. Pertama terkait dengan penetapan tarif yang bisa langsung dilakukan oleh K/L, itu merupakan langkah yang tidak tepat sebab itu menghilangkan fungsi budgeting dari DPR.

"Penetapan tarif tidak bisa begitu saja dilakukan pemerintah tapi harus melibatkan DPR. Nanti kasusnya seperti Freeport ditetapkan tarifnya 3,75 tapi tidak implementatif," ungkapnya.

Kemudian persoalan sanksi, menurutnya sanksi yang ditetapkan terlalu rendah dan juga sanksi yang ada itu lebih kepada kementerian lembaga yang mengelola PNBP, tapi tidak ada sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak membayar. "Padahal di 2015, ada 60% perusahaan asing tidak bayar royalty," jelasnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara menyampaikan hal yang sama bahwa dalam revisi UU ini harus mencantumkan saksi yang tegas bagi pejabat K/L yang menyelewenga dan juga kepada perusahaan yang tidak membayar PNBP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto