JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.Uji materi ini diajukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Pasal yang digugat adalah pasal 2 dan 3 UU PNPB, serta pasal 16 dan 26 UU Telekomunikasi dan akan diuji dengan pasal 23A UUD 1945.Kuasa hukum pemohon, Pradnanda Berbudy menyatakan dua pasal dalam UU PNPB menjadi dasar bagi pemerintah untuk memungut dana Universal Service Obligation (USO), Biaya Hak Penggunaan (BHP) Telekomunikasi, BHP Frekuensi dari para pengusaha telekomunikasi.Ketiga pungutan ini diatur dalam UU PNBP, tak dijelaskan detail besarannya. Nilai tarif yang harus dibayar pengusaha ini tertera dalam lampiran dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 76 tahun 2010 tentang jenis dan tarif atas jenis PNPB yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menjadi peraturan turunan UU PNBP."Kami menyoroti dua pasal dalam UU PNPB ini bahwa besaran tarif ini bisa diatur oleh pemerintah tanpa persetujuan DPR. Ini jelas tak ada kepastian hukum," ujar Pradnanda di Gedung MK, Selasa (4/3).Menurutnya PNBP yang masuk ke kas negara ini bersifat memaksa, maka sudah seharusnya ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR dengan regulasi berupa UU dan bukan PP.Ia bilang UU PNPB ini seperti memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk menetapkan besaran tarif sesukanya.UU PNBP dinilai memberikan amanat yang terlalu besar kepada pemerintah dan berpotensi merugikan masyarakat, karena semakin tinggi tarif yang dibebankan pemerintah kepada pengusaha, maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan masyarakat."Bagaimana mungkin masyarakat mengakses internet murah jika PNPB mahal, karena pengusaha pasti akan membebani biaya PNBP kepada masyarakat," katanya.Kendati begitu, Pradnanda menyadari implikasi jika akhirnya gugatan ini diterima oleh majelis hakim Konstitusi nantinya.Ia menyebut, negara berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 300 triliun per tahunnya dari PNPB.Menurutnya pemerintah harus mengubah mekanisme pemungutan PNBP ini sehingga dirasa konstitusional, yakni ditetapkan atas persetujuan DPR.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
UU PNPB dinilai tawarkan cek kosong ke pemerintah
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.Uji materi ini diajukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Pasal yang digugat adalah pasal 2 dan 3 UU PNPB, serta pasal 16 dan 26 UU Telekomunikasi dan akan diuji dengan pasal 23A UUD 1945.Kuasa hukum pemohon, Pradnanda Berbudy menyatakan dua pasal dalam UU PNPB menjadi dasar bagi pemerintah untuk memungut dana Universal Service Obligation (USO), Biaya Hak Penggunaan (BHP) Telekomunikasi, BHP Frekuensi dari para pengusaha telekomunikasi.Ketiga pungutan ini diatur dalam UU PNBP, tak dijelaskan detail besarannya. Nilai tarif yang harus dibayar pengusaha ini tertera dalam lampiran dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 76 tahun 2010 tentang jenis dan tarif atas jenis PNPB yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menjadi peraturan turunan UU PNBP."Kami menyoroti dua pasal dalam UU PNPB ini bahwa besaran tarif ini bisa diatur oleh pemerintah tanpa persetujuan DPR. Ini jelas tak ada kepastian hukum," ujar Pradnanda di Gedung MK, Selasa (4/3).Menurutnya PNBP yang masuk ke kas negara ini bersifat memaksa, maka sudah seharusnya ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR dengan regulasi berupa UU dan bukan PP.Ia bilang UU PNPB ini seperti memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk menetapkan besaran tarif sesukanya.UU PNBP dinilai memberikan amanat yang terlalu besar kepada pemerintah dan berpotensi merugikan masyarakat, karena semakin tinggi tarif yang dibebankan pemerintah kepada pengusaha, maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan masyarakat."Bagaimana mungkin masyarakat mengakses internet murah jika PNPB mahal, karena pengusaha pasti akan membebani biaya PNBP kepada masyarakat," katanya.Kendati begitu, Pradnanda menyadari implikasi jika akhirnya gugatan ini diterima oleh majelis hakim Konstitusi nantinya.Ia menyebut, negara berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 300 triliun per tahunnya dari PNPB.Menurutnya pemerintah harus mengubah mekanisme pemungutan PNBP ini sehingga dirasa konstitusional, yakni ditetapkan atas persetujuan DPR.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News