UU PPh, dasar Indonesia tagih pajak Google



JAKARTA. UU Pajak Penghasilan (PPh) yang dimiliki oleh Indonesia saat ini dinilai sudah cukup untuk menjadikan Google sebagai subjek pajak meskipun Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan masih kesulitan mengejar kewajiban perpajakan Google Asia Pasific Pte Ltd.

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa UU PPh yang dimiliki oleh Indonesia sudah memuat tentang subjek pajak sehingga tanpa cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh India atau Inggris, sebenarinya Indonesia sudah bisa menjadikan Google sebagai subjek pajak.

“Undang-undang kita sudah ada tentang subjek pajak itu. Di situ ada BUT (Bentuk Usaha Tetap) itu apa,” ujarnya saat ditemui di Komisi XI DPR RI, Rabu (18/1).


Dari beberapa subjek PPh, bentuk usaha tetap (BUT) merupakan salah satunya. BUT sendiri dijelaskan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Kegiatan-kegiatan yang dimaksud dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan,

Termasuk juga proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

Kemudian, komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet juga merupakaan BUT.

Nah, permasalahannya selama ini Google enggan ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Padahal, DJP mencatat bahwa Google memiliki sekitar 140 unit Dedicated Catch server di Indonesia.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv. server-server tersebut itu merupakan bentuk BUT sebagai syarat dikenakan pajak. Beberapa di antaranya tersebar diseluruh indonesia. Terbanyak di wilayah DKI.

Namun demikian menurut Haniv otoritas pajak bisa mengambil opsi untuk menjerat perusahaan out of the top (OTT) tersebut dengan memberlakukan kewajiban pajak OTT, seperti yang diberlakukan di sejumlah negara lain, seperti India dan Inggris.

Di India misalnya, Google telah menempatkan permanent establishment sehingga transaksi dari India itu dikenakan pajak bahkan dengan angka persentasi pajak yang lebih besar. Sementara Inggris memiliki data yang akurat dan kebijakan pajak diverted profit tax. Melalui skema itu, Inggris memungut pajak atas laba atau royalti setelah dialihkan ke negara lain yang memiliki aturan perpajakan longgar.

“Bisa dong. Ini negara berdaulat, dan kami bisa terapkan pajak khusus OTT,” ujar Haniv.

Bila pemerintah memberlakukan aturan tersebut, menurut Haniv, tidak ada lagi ruang bagi perusahaan OTT lainnya, untuk menhindari pajak Namun, aturan itu sampai saat ini belum ada.

Sampai saat ini, otoritas pajak masih menggodok aturan kewajiban perpajakan bagi perusahaan OTT itu. Menurut dia, untuk membentuk aturan ini peran Dewan Perwakilan Rakyat sangat penting.

“Nanti UU yang berbicara. Maka dari itu, butuh andil DPR,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia