KONTAN.CO.ID -BANDUNG. Uni Eropa tengah membahas regulasi terkait rantai pasok dan deforestasi untuk meminimalisir perdagangan produk-produk yang terindikasi menyebabkan deforestasi. regulasi itu dibuat untuk tujuan menekan angka konsumsi lahan dan hutan ini, tentunya akan berdampak besar bagi Indonesia sebagai negara penyuplai komoditas-komoditas yang termasuk dalam produk penyebab deforestasi, seperti kelapa sawit, cokelat, karet, kopi, kedelai dan kayu. Melalui aturan ini, nantinya perusahaan dan produsen enam komoditas tersebut harus memenuhi persyarakat administratif maupun regulatif untuk menjamin bahwa produk yang dijual telah bebas deforestasi, diproduksi sesuai peraturan perundang-undangan, dan mampu melampirkan penyataan lolos uji tuntas.
Persyaratan ini, secara langsung akan berimbas pada produsen dan penyuplai di Indonesia, baik perusahaan besar maupun petani kecil. Jika merujuk pada timeline pengaplikasian regulasi dan arahan uji tuntas keberlanjutan perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive), regulasi nasional diperkirakan baru akan terwujud pada 2026 hingga 2028 mendatang. “Karena ini peraturan direktif dan harus dapat diinterpretasikan ke negara-negara terkait, termasuk Indonesia, maka memerlukan waktu dan sosialisasi yang tidak instan,” kata Analis Kebijakan Uni Eropa Louise Simon dalam webinar The Impact of EU Supply Chain and Deforestation Law yang diadakan Climate Change Center Institut Teknologi Bandung (CCC ITB), Climate and Company (C&C) Berlin-German dan Germanwatch dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/11). Jika merujuk pada posisi Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan CIFOR-ICRAF, ditemukan bahwa Indonesia merupakan produsen, eksportir, dan konsumen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Dari sisi ekspor, 56,1% dari total eksporir kelapa sawit berasal dari Indonesia, begitu juga posisi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit yang mencapai 59,5%. “Di 2021, sebagaian besar produksi kelapa sawit ditujukan untuk ekspor, termasuk ke Uni Eropa. Uni Eropa adalah salah satu green buyer Indonesia dan hampir 90 persen sudah terindikasi berkelanjutan,” kata Peneliti CIFOR Sonya Dyah. Sonya juga menambahkan pentingnya perdagangan hijau (green trade) dalam meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit Indonesia. Menurutnya, Green Trade ini dapat membantu mengurangi deforestasi di Indonesia yang saat ini semakin mengklawatirkan. “Di sisi lain, palm oil yang diperdagangkan hampir seluruhnya berasal dari petani kecil dan kemungkinan mereka akan mendapatkan berbagai tantangan dalam menerapkan kebijakan ini nantinya,” sambungnya. Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, meskipun Indonesia memiliki peran penting dalam sektor palm oil trade, namun sejatinya Indonesia memiliki beberapa sektor lain yang termasuk dalam deforestasi, termasuk penambangan nikel. Meski begitu, sektor pertanian masih menjadi penyumbang deforestasi terbesar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. “Luas lahan kelapa sawit semakin luas di Indonesia, meningkat 200%, dan pada saat yang sama terjadi perluasan area pertambangan, meningkat 3 kali lipat. ” tuturnya. Terkait regulasi terkait rantai pasok dan deforestasi, Chairman Institut Supply Chain dan Logistik Indonesia (ISLI) I Nyoman Pujawan mengatakan, dalam pengaplikasiannya perlu adanya jaminan agar regulasi ini tetap memperhatikan hak dan keadilan bagi seluruh pihak terkait. Hal ini merujuk pada persyaratan uji tuntas yang perlu dipenuhi oleh perusahaan dalam rantai pasok suatu produk, yang artinya seluruh elemen mulai dari petani, distributor, pengepak, hingga stakeholder terkait secara tidak langsung akan terdampak dari pemberlakuan regulasi ini.
“Dampaknya akan sangat besar, karena tidak semua perusahaan akan siap. Diperlukan waktu dan biaya tambahan karena ini akan berdampak pada arus ekspor, termasuk bagi produsen kecil,” ujarnya. Nyoman juga menekankan perlunya penegasan tentang hukum deforestasi, terutama mengenai indikator yang dapat dijadikan patokan untuk menetapkan apakah suatu produk dapat tergolong sebagai produk bebas deforestasi atau tidak. Dia juga tidak memungkiri bahwa regulasi ini nantinya akan membatasi peluang bagi produsen untuk meluaskan pasar. “Maka perlu dipastikan agar regulasi ini bisa adil bagi seluruh negara produsen,” tegasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini