Venezuela dan kegagalan sosialisme



Venezuela memiliki cadangan minyak terbanyak di dunia, menyamai Saudi Arabia. Harga bahan bakar minyak (BBM) di Venezuela termurah di dunia. Selain itu, negara yang ada di daerah tropis itu punya tanah yang subur. Dengan kekayaan alam, Venezuela seharusnya menjadi negara makmur.

Faktanya, Venezuela saat ini mengalami krisis multi-dimensi: ekonomi, sosial, dan politik. Sekitar 80% warga Venezuela dikategorikan miskin malah banyak yang kelaparan. Alhasil, di periode 2014-2016, produk domestik bruto (PDB) Venezuela kontraksi masing-masing 4%, 6%, dan 18% (IMF, April 2017).

Mengingat 90% pendapatan ekspor Venezuela dan 35% PDB berasal dari minyak (Mark Tunner, www.economonitor.com, Nov-2007), ada pengamat ekonomi yang menyalahkan krisis Venezuela akibat kejatuhan harga minyak.


Tapi, Chile juga memiliki struktur ekonomi mirip Venezuela. Sekitar 70% pendapatan ekspor dan 35% PDB Chile dari komoditas tembaga. Meski harga tembaga terkoreksi 50%, ekonomi Chile bisa tumbuh rata-rata 2% per tahun sepanjang 2014 - 2016.

Bagaimana Venezuela yang sangat kaya alamnya, rakyatnya bisa sangat miskin?

Sebuah struktur institusi sosial yang membedakan Venezuela dengan negara lain adalah negara di Amerika Latin itu menolak mekanisme pasar dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah merencanakan dan mengendalikan hampir semua kegiatan ekonomi.

Kebijakan utama antimekanisme pasar adalah kontrol harga, berupa penetapan harga acuan maksimum/ minimum. Harga acuan maksimum (minimum) yang efektif akan menyebabkan kekurangan produksi (kekurangan permintaan). Proses produksi dan distribusi barang mengalami gangguan, bahkan berhenti. Di Venezuela, hukum biaya dan harga yang adil diterapkan sejak era Hugo Chavez di tahun 2011. Presiden Nicolas Maduro pada Januari 2014 juga menetapkan hukum harga, biaya, dan laba yang adil.

Penghasilan minyak yang sangat banyak di era Chavez memungkinkan Venezuela menetapkan harga maksimum BBM dan pangan yang sangat murah. Harga jual maksimum pangan yang rendah menghilangkan insentif bagi petani untuk menambah produksi. Sedangkan konsumen, lebih memilih membeli bahan pangan dari toko murah yang disediakan pemerintah. Sejalan dengan berkurangnya kegiatan ekonomi pertanian dan perdagangan, negara semakin tergantung pada ekonomi minyak.

Memberi kebebasan

Venezuela juga menerapkan kontrol nilai tukar sejak 2003, membuat nilai tukar uang bolivar terhadap dollar AS ditetapkan terlalu kuat. Akibatnya, permintaan dollar melebihi cadangan devisa pemerintah. Alokasi dollar dilakukan melalui birokrasi pemerintah yang penuh korupsi. Saat ini cadangan devisa Venezuela kurang dari US$ 10 Miliar, turun drastis dari titik tertinggi US$ 43 miliar pada awal 2009. Pengusaha yang tidak memiliki akses ke dollar akan gagal impor input yang diperlukan. Tanpa input, produsen menghentikan produksi.

Ternyata, intervensi pemerintah  berupa kepastian harga malah mempersulit proses produksi dan distribusi. Sebaliknya gejolak harga dalam mekanisme pasar menjadi sinyal bagi produsen dan konsumen untuk terus menyesuaikan sehingga tercipta harmonisasi kegiatan ekonomi.

Masalah lain Venezuela adalah subsidi BBM yang berlebih. Idealnya ini akan menurunkan biaya produksi perusahaan. Tapi subsidi yang berlebihan menjadikan BBM menjadi sumber penghasilan alternatif daripada bekerja. Masyarakat mengantri untuk memperoleh BBM murah dan kemudian menjualnya di pasar gelap dengan harga tinggi. Mengantre menjadi lapangan kerja baru saat tanah dan pabrik terlantar karena ketiadaan pekerja dam input.

Akibatnya subsidi BBM dan kebutuhan pokok terus meningkat, sedangkan penerimaan pajak anjlok karena aktivitas ekonomi masyarakat lesu. Defisit fiskal pemerintah saat ini membengkak sekitar 15% PDB.

Untuk memenuhi segala janji harga murah dan menutupi defisit fiskal, pemerintah mencetak uang. Penambahan uang beredar mencapai 300% per Juni 2017. Uang baru akan mengejar jumlah barang yang semakin sedikit, memicu inflasi yang sangat tinggi. Dengan berbagai aturan dan kontrol harga, inflasi Venezuela meroket mencapai 68%, 180%, dan 270% dalam tahun 2014, 2015, dan 2016. Untuk tahun 2017, perkiraan inflasi akan melesat 700% - 900%.

Langkah nasionalisasi perusahaan juga tindakan anti mekanisme pasar. Nasionalisasi menimbulkan ketidakpastian kepemilikan aset, sehingga investor berhenti berinvestasi. Aset yang dikuasai pemerintah, dikelola kroni secara nepotisme yang menurunkan produktivitas perusahaan. Imbasnya, produksi berkurang dan malah berhenti.

Idealnya Venezuela dapat mencicil dan mengurangi beban utang  saat booming komoditas 2003-2010. Tapi kegagalan pengelolaan ekonomi bikin rasio utang luar negri terhadap PDB saat ini  bisa diatas 100% dan efektif bangkrut.

Perencanaan ekonomi oleh pemerintah atau sosialisme Venezuela berakhir dengan: penurunan produktivitas, kontraksi PDB, penurunan pendapatan nasional, inflasi, kemiskinan dan kelaparan. Ketika rakyat jatuh miskin dan lapar, krisis sosial dan politik meluas menjadi kekacauan. Sempat mendapat pujian dari Joseph Stiglitz  terkait kebijakan ekonomi pada 207, kondisi itu menjadi kenyataan sangat tragis bagi Venezuela.

Sejarah sistem ekonomi menunjukkan sosialisme atau perencanaan ekonomi sentralistis oleh pemerintah akan selalu gagal. Ekonomi sosialis menyebabkan kelaparan dan kematian masal. Misal, Uni Soviet di era Stalin, yakni ada 5 juta - 7 juta jiwa tewas kelaparan sepanjang 1932-1933. Kondisi serupa juga terjadi di China. Begitu pula Indonesia di  era Ekonomi Terpimpin Soekarno yang mengalami kekacauan ekonomi.

Solusi Venezuela adalah memberi kebebasan kepada individu untuk bekerja bagi diri dan keluarga sesuai mekanisme pasar bebas. Pemerintah harus meniadakan kontrol harga, realokasi subsidi, menghargai kepemilikan pribadi, dan mengendalikan uang beredar.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi