Volume impor buah selama 2012 menyusut



JAKARTA. Pemerintah mengklaim kebijakan pengendalian impor hortikultura efektif menekan jumlah volume importasi. Kementerian Pertanian mencatat, realisasi impor buah selama 2012 seberat 800.000 ton, menyusut 33,33% dibanding impor 2011 yang mencapai 1,2 juta ton.

Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian, Banun Harpini menyatakan, penurunan impor produk buah yang cukup signifikan tidak lepas dari kebijakan Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Kementerian Perdagangan (Kemdag). "Kami memproyeksikan impor tahun ini lebih rendah dari tahun lalu," ujar Banun, akhir pekan lalu.

Dua kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 tentang ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).


Pada 2012, Kemdag menetapkan 113 importir terdaftar (IT). Dari perusahaan yang meraih IT, sebanyak 76 perusahaan mendaftarkan 1.319 RIPH ke Kemtan. Selama dua bulan terakhir, yakni November dan Desember tahun lalu, Kemtan menetapkan RIPH seberat 259.449 ton setara 10.810 kontainer.

Pemerintah tahun ini belum memberikan RIPH kepada perusahaan importir hortikultura. Banun beralasan, Kemtan masih menghitung jenis komoditas apa saja yang tak boleh diimpor karena bertepatan dengan musim panen produk hortikultura dalam negeri. Pada 2013, Kemtan akan membagi alokasi impor hortikultura dalam dua periode yakni setiap enam bulan sekali.

Di pertengahan Januari ini, importir hortikultura yang telah memiliki IT diharapkan sudah dapat mengajukan RIPH ke Kemtan.

Kafi Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo), menilai seharusnya pengajuan RIPH bisa dilakukan jauh hari. "Pelaksanaan impor perlu waktu cukup lama," ujarnya.

Ditutupnya pelabuhan Tanjung Priok sebagai jalur masuknya produk hortikultura juga dikeluhkan para importir. Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sebagai alternatif pemasukan produk hortikultura dinilai masih memiliki banyak kekurangan.

Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia, Bob B. Budiman mengatakan, Jawa Timur adalah lumbung produksi hasil pertanian seperti buah, sayur dan umbi lapis di Jawa. Tetapi bukan sentra pemakaian produk hasil hortikultura. "Sentra penggunanya adalah Jawa Barat dan sekitarnya," ujar Bob.

Kedalaman perairan untuk kapal bersandar di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hanya 10,5 meter sehingga tidak mampu menampung kapal berkapasitas besar. Tempat penimbunan sementara atau TPS pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hanya mempunyai 400 titik colok atau plug-in untuk listrik.

Kemudian, jadwal operasional kantor pelayanan karantina di pelabuhan Tanjung Perak juga tidak 24 jam, tapi hanya Senin sampai Sabtu. Untuk menguji laboratoium hortikultura dibutuhkan waktu hingga tujuh hari kerja, biayanya bervariasi mulai dari Rp 900.000 hingga Rp 2 juta per kontainer.

Importasi produk hortikultura yang masuk ke Tanjung Perak mencapai lebih dari 5.000 kontainer berukuran 40 feet. Dari jumlah itu, sebesar 70% atau sekitar 3.500 kontainer bertujuan ke Jawa Barat dan sekitarnya.

Bob menghitung, biaya angkut produk hortikultura dari Surabaya ke Jakarta sekitar Rp 20 juta per 40 kaki. Perjalanan angkutan darat dari Tanjung Perak Surabaya menuju wilayah Jawa Barat dan sekitar adalah kurang lebih 1.000 kilometer (km).

Perjalanan dari Surabaya menuju Jawa Barat membutuhkan waktu antara tiga hari hingga tujuh hari. Panjangnya rantai distribusi tersebut tentunya menyebabkan kualitas produk hortikultura menjadi menurun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro