KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan, volume penggunaan subsidi LPG 3 kg dan subsidi listrik berpotensi meningkat. Alhasil anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini akan jebol dari yang sudah diperkirakan pemerintah Rp 339,6 triliun. Sebagai catatan, pemerintah menentukan kuota volume pertalite dijatah sebesar 29,07 juta kilo liter, solar sebanyak 17 juta kilo liter, kuota LPG 3 kg 8 juta metrik ton, dan subsidi listrik diberikan untuk 39,2 juta pelanggan. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa memperkirakan volume subsidi LPG 3 kg tahun ini akan meningkat di kisaran 5% hingga 10%. Peningkatan ini terjadi jika pemerintah tidak berhasil mengendalikan agar penyerapan subsidi ini tepat sasaran.
“Kalau kita lihat realisasi sampai bulan Juli kemari ada kemungkinan penyerapannya meningkat 5% sampai 10% lebih tinggi dari kuota awal kalau tidak ada upaya pengendalian,” tutur Febby kepada kontan.co.id, Minggu (13/8). Menurutnya, faktor yang menentukan bengkaknya anggaran subsidi LPG ini tidak hanya karena meningkatnya volume, melainkan juga bergantung pada perubahan harga bahan dasar. Sebab sekitar 80% bahan baku dasar LPG diimpor dari CP Aramco.
Baca Juga: Volume Subsidi dan Kompensasi Energi Tahun Ini Berpotensi Jebol Dia memperkirakan, ada kemungkinan harga acuan LPG Aramco meningkat pada kuartal IV, dipengaruhi musim dingin sehingga di akhir tahun potensi subsidi LPG meningkat semakin nyata. Kemudian, Febby juga menilai kuota subsidi listrik akan meningkat di kisaran 10% hingga 15% pada akhir tahun. Peningkatan ini terjadi karena penggunaan listrik bersubsidi makin bertambah sejalan dengan mulai membaiknya pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19. Kementerian Keuangan mencatat, realisasi subsidi dan kompensasi listrik hingga Juli 2023 mencapai Rp 48,5 triliun. Artinya, dalam lima bulan terakhir, anggaran subsidi dan kompensasi ini hanya tersisa sekitar Rp 21,93 triliun. “Saya lihat konsumsinya meningkat. Kalau kita lihat data anggaran subsidi listrik dipatok Rp 70,49 triliun. kalau lihat realisasi sampai Juli kemarin kan sisa, Rp 21,93 triliun. Jadi saya kira anggarannya bakal lebih yang ditentukan,” ungkapnya. Meski begitu, untuk subsidi dan kompensasi BBM, Febby memperkirakan volume penggunaannya masih akan pada batas yang sudah ditentukan pemerintah. Hal ini karena harga minyak mentah dunia hingga saat ini masih di bawah asumsi yang ditentukan yakni US$ 90 per barel. “Kita lihat penggunaan solar dan pertalite sampai Juli kemarin masih pada kisaran kuota. Selain itu dalam enam bulan terakhir harga minyak masih di sekitar US$ 80 per barel, jadi masih di bawah asumsi harga minyak, dan ini menolong APBN,” jelasnya. Lebih lanjut, Febby menambahkan, jika pemerintah belum berhasil dalam mengendalikan penggunaan subsidi energi sebagaimana mestinya maka potensi membengkaknya anggaran subsidi akan terus terjadi.
Baca Juga: Realisasi Belanja Negara Baru Capai 47,7% dari Pagu, Begini Penjelasan Sri Mulyani “Menurut saya pemerintah gagal untuk melakukan pengendalian penjualan, bahan bakar yang disubsidi, termasuk LPG masih dilakukan pendistribusian terbuka. Sehingga siapa pun bisa beli, dan bahkan juga ditemukan ada sejumlah pihak yang justru melakukan pengoplosan. Jadi wajar saja kalau volumenya bengkak,” imbuhnya. Adapun Kementerian Keuangan mencatat, realisasi subsidi energi hingga Juli 2023 mencapai Rp 145,9 triliun, atau naik 8,7% dari bulan sebelumnya Rp 133,2 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari subsidi dan kompensasi BBM sebesar Rp 59,7 triliun untuk 8,6 juta kilo liter, LPG 3 kg sebesar Rp 37,7 triliun untuk 4 juta metrik ton, serta subsidi dan kompensasi listrik mencapai Rp 48,5 triliun untuk 39,2 juta pelanggan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari