Volume penjualan HMSP diperkirakan stagnan di 2015



JAKARTA. Potensi kenaikan cukai membuat PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) kurang yakin terhadap volume penjualan rokoknya. Emiten pemegang pangsa pasar rokok ini pun mengestimasi pertumbuhan volume penjualan yang stagnan atau hanya naik tipis di tahun ini.

Pada Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan Rancangan Undang Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia 2016 (RAPBN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RAPBN 2016 tersebut memproyeksikan pendapatan dari pajak cukai hasil tembakau sekitar sebesar Rp148,9 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 senilai Rp 139,1 triliun.

Dalam rencana tersebut pun dinyatakan bahwa APBN 2016 memiliki potensi untuk mencapai target pendapatan cukai hasil tembakau antara lain dengan cara meningkatkan tarif cukai. RAPBN 2016 tidak memberikan rincian perubahan cukai tembakau khusus, namun angka ini berpotensi mengakibatkan tarif cukai yang lebih tinggi untuk rokok di tahun 2016. Adapun, dalam APBN 2015 juga mencakup perubahan ketentuan pembayaran untuk dua bulan terakhir sebesar Rp18,5 triliun.


“Sebagai akibat dari potensi kenaikan tarif cukai tersebut, perseroan memperkirakan pertumbuhan volume yang lebih rendah yaitu 0% sampai dengan 1% selama tahun 2015,” sebut Ike Andriani, Sekretaris Perusahaan HMSP, dalam prospektus yang dirilis perseroan.

Angka tersebut lebih rendah ketimbang pencapaian semester pertama. Sampai Juni, volume penjualan rokok HSMP naik 2,83% dari 54,66 miliar menjadi 56,21 miliar. Volume penjualan domestiknya tumbuh 2,23% 54,13 menjadi 55,34 miliar. Di situ, volume penjualan SKT dan SPM turun. Sedangkan hanya penjualan SKM yang mengalami peningkatan.

Ike menjelaskan peningkatan tarif cukai terbaru yang diberlakukan Januari 2015 membuat kenaikan porsi cukai 11,3% pada penjualan Sigaret Kretek Mesin (SKM), 6,7% pada Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan 11,8% untuk Sigaret Putih Mesin (SPM) dibandingkan tahun 2014. Menurutnya, porsi cukai termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas SPM terhadap penjualan bersihnya di tahun lalu adalah 52,1%.

Meski begitu, ia menyebut HMSP tetap yakin bahwa pertumbuhan volume penjualan industri akan kembali ke 1% sampai dengan 3% untuk jangka menengah dan panjang. Ini berdasarkan profil piramida demografi Indonesia yang kuat, pertumbuhan populasi, dan bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah.

Ike menyadari, kenaikan pajak yang mengakibatkan kenaikan harga penjualan eceran rokok dapat menurunkan konsumsi atau menyebabkan peralihan permintaan ke produk dengan harga lebih rendah atau produk dalam kategori berbeda. Sedangkan peningkatan pajak tanpa kenaikan harga jual dapat menurunkan keuntungan perseroan.

Soal peningkatan harga, HMSP harus mempertimbangkan kondisi pasar dan toleransi konsumen terhadap perubahan harga. Ini termasuk dampak jumlah penjualan rokok dan reaksi para kompetitor.

Ike menambahkan, kemampuan untuk menyesuaikan harga dengan peningkatan pajak rokok menjadi terbatas jika perseroan tidak dapat menentukan dan merencanakan waktu, frekuensi dan tingkat kenaikan tersebut. “Perubahan aturan cukai produk rokok yang tidak menguntungkan dapat berdampak negatif terhadap kegiatan usaha, kinerja finansial, dan prospek usaha perseroan,” ucap Ike.

Pada semester pertama, penjualan emiten rokok ini tumbuh 11,9% dari Rp 39,09 triliun menjadi Rp 43,74 triliun. Ini ditopang oleh kenaikan volume penjualan domestik dan kenaikan harga produk rokok. Penjualan SKM naik 18,8% menjadi Rp 27,45 triliun, penjualan SKT turun 2,1% ke posisi Rp 9,09 triiun, dan penjualan SPM tumbuh 7,7% menjadi Rp 6,47 triliun. Meski begitu, labanya stagnan di angka Rp 4,09 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto