JAKArta. Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa koruptor boleh dihukum mati. Langkah ini diambil lantaran korupsi makin mengkhawatirkan dan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Itu sebabnya, ganjaran yang setimpal bagi koruptor adalah hukuman mati. Fatwa NU ini mendapat dukungan dari kalangan legislator, penegak hukum sampai penggiat antikorupsi. Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR setuju dengan hukuman mati, karena bisa membuat efek jera dan lebih efektif memberantas korupsi. "Jangan tanggung-tanggung kalau ingin memberantas korupsi. Harus nyata yakni hukuman mati," tandas politikus Partai Golkar itu, kemarin. Ruhut Sitompul, anggota Komisi III DPR sependapat dengan sikap NU terkait korupsi. "Korupsi makin banyak perlu shock therapy dalam membasminya," ujarnya.
Tapi, politikus Partai Demokrat ini bilang, penerapan hukuman mati terkendala isu hak asasi manusia (HAM). Maka itu, harus ada kesepakatan bersama payung hukum soal hukuman mati ini. Menurutnya, China yang dulunya negara korup bisa terbebas setelah memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor. "Vonis ringan yang rata-rata dua sampai tiga tahun tidak membuat jera pelakunya," tandas Ruhut. Agus Martowardojo, Menteri Keuangan pun setuju vonis mati bagi koruptor. Koruptor yang merugikan banyak orang pantas mendapatkan sanksi berat. "Kalau ada acuan undang-undang untuk memberi hukuman mati, ya kita hukum mati," jelasnya. Agus menjelaskan, pemerintah terus berupaya melakukan reformasi birokrasi dan menjalankan transparansi kegiatan pemerintahan untuk mencegah tindak pidana korupsi. Bila tetap saja korupsi marak, Agus bilang, hukuman mati perlu dipertimbangkan. Hal senada dikatakan Jaksa Agung Basrief Arief. Sebagai lembaga penegak hukum, pihaknya mendukung adanya regulasi hukuman mati untuk menekan angka kasus korupsi secara signifikan. "Itu tergantung regulasi. Kalau disepakati, maka kenapa tidak (hukuman mati diberlakukan)," ujarnya. Basrief memaparkan, regulasi yang ada saat ini hanya mengatur hukuman mati untuk kejadian tidak biasa atau istimewa seperti tindakan terorisme. Sedangkan korupsi hanya masuk perbuatan pidana biasa. "Maka korupsi tidak dikenakan pidana hukuman mati," ungkapnya. Timur Pradop, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menilai, fatwa hukuman mati tersebut sebagai bentuk dukungan bagi lembaga penengak hukum dalam memerangi korupsi. "Hukuman mati merupakan harapan masyarakat agar penegakan hukum tidak tercederai oleh sanksi hukum minimal terhadap koruptor," katanya.
Febridiansyah, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) menjelaskan, hukuman mati bagi koruptor masih dalam perdebatan karena ada penentangan dari penggiat HAM.ICW sendiri lebih condong pada pemberian hukuman maksimal dan pemiskinan bagi koruptor. Selama ini, hukuman maksimal ini belum dijalankan, sehingga kasus korupsi masih marak. Asal tahu saja, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, fatwa hukuman mati bagi koruptor menjadi salah satu keputusan sidang Komisi A Munas NU yang membahas masalah-masalah agama dalam perspektif hukum Islam. KH Saifuddin Amsir, Ketua Sidang Komisi A mengatakan, koruptor boleh dan harus dihukum mati, jika telah diadili dan pengadilan mempertimbangkan kesalahannya tapi mengulangi dan tak jera. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan