Wacana penurunan tarif PPh badan, CITA: Harus dicermati dan diuji secara hati-hati



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo kembali menyinggung tentang rencana penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dalam acara deklarasi dukungan 10.000 pengusaha untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi - Ma'ruf Amin.

Menurut Jokowi, rencana penurunan PPh Badan sudah lama direncanakan dan dibahas dengan sejumlah asosiasi pengusaha. Jokowi pun mempertanyakan hasil perkembangan rencana tersebut.

Tak hanya Jokowi, rencana penurunan tarif pajak penghasilan pun turut menjadi visi dan misi yang dilontarkan oleh pasangan Prabowo - Sandi.


Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan agar ide menurunkan tarif pajak perlu dicermati dan diuji secara hati-hati. Meski penurunan tarif pajak diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan investasi.

Yustinus mengakui, adanya penurunan tarif PPh badan sudah sering dibahas. Bahkan pemerintah dalam konteks reformasi pajak pasca tax amnesty juga pernah mewacanakan penurunan tarif PPh Badan ini.

Namun, Yustinus melihat wacana yang kembali diungkapkan oleh Presiden Jokowi merupakan salah satu respon politik.

"Kami sendiri menyayangkan karena seolah melalui pernyataannya Presiden Jokowi menyudutkan Kementerian Keuangan, institusi yang selama ini justru menjadi motor utama reformasi pajak dan bertanggung jawab memastikan program pemerintah berjalan lancar," tutur Yustinus dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Sabtu (24/3).

Padahal menurut Yustinus, lebih baik pemerintah melakukan komunikasi, evaluasi serta memonitor apa yang tengah terjadi dan sedang dikerjakan.

Yustinus pun memandang, tarif PPh Indonesia bukan yang tertinggi di ASEAN. Bisa dilihat bahwa tarif PPh Indonesia sebesar 25%. Sementara, tarif PPh Badan Filipina sebesar 30%, Myanmar 25%, Laos 24%, Malaysia 24%, Thailand, Vietnam serta Kamboja sebesar 20% sementara Singapura 17%.

Lalu, tarif PPh Orang pribadi di Indonesia maksimal sebesar 30%. Negara lainnya seperti India sebesar 30%, Vietnam, Thailand, Filipina, AS sebesar 37%, Korea Selatan sebesar 42%, China, Afrika Selatan, dan Inggris 45%, Belanda sebesar 52%, Denmark sebesar 55,8%, Jepang ditetapkan sebesar 56%, Lalu terdapat Swedia dengan tarif PPh orang pribadi sebesar 61,85%.

Menurut Yustinus, penurunan tarif PPh badan sangat dimungkinkan sebangsa perluasan basis pajak. Apalagi setelah tax amnesty delakukan, AEOI berlaku dan disertai pengawasan wajib pajak.

Lebih lanjut Yustinus mengatakan, penurunan tarif tersebut harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak penurunan penerimaan dalam jangka pendek. Memang tarif pajak yang kompetitif dapat menarik investasi.

Tetapi, belum ada bukti empirik yang kuat bahwa penurunan tarif PPh berkorelasi positif dengan kenaikan tax ratio. "Indonesia pernah menurunkan tarif pajak tahun 2000 dan 2008, dan tidak diikuti peningkatan rasio pajak secara signifikan," tambah Yustnius.

Lain dengan tarif PPh badan, Yustinus justru merasa penurunan tarif PPh badan tak perlu dilakukan mengingat tarifnya yang sudah rendah. Tetapi tax bracket perlu diperbaiki dan lapisan tarif perlu ditambah , supaya lebih adil dan mencerminkan prinsip ability to pay.

PTKP yang sudah mencapai Rp 54 juta per bulan pun sudah dianggap sebagai satu cara untuk melindungi kelompok menengah-bawah. Yustinus menyarankan agar struktur PTKP diperbaiki agar lebih adil dan tepat sasaran.

Karena itu, Yustinus pun menyarankan agar PPh badan tak diturunkan secara ekstrem dan diturunkan secara bertahap. Awalnya penurunan tarif PPh badan dilakukan dari 25% menjadi 22% untuk waktu dua tahun. Setelah dilakukan evaluasi dan dampaknya positif, maka tarif PPh badan dapat diturunkan kembali menjadi 18%.

Meski begitu, Yustinus mengingatkan bahwa penurunan tarif harus dilakukan dengan revisi UU Pajak Penghasilan yang dibahas oleh pemerintah dan DPR.

"Ini yang perlu dipahami siapa pun termasuk para kontestan. Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas RUU KUP sebagai hukum formal dan harus diselesaikan terlebih dahulu," jelasnya

Yustinus pun menerangkan banyak reformasi perpajakan yang sedang dilakukan dan terdapat perbaikan yang sudah terlihat baik dari sisi regulasi maupun administrasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto