KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Wacana pengampunan pajak atau
tax amnesty jilid 3 yang menjadi program pemerintah di tahun 2025 dinilai perlu diperjelas dan menentukan justifikasi yang tepat dalam pelaksanaannya.
Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji menilai, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak dan penentuan fitur-fitur dalam
tax amnesty, perlu melihat 6 poin yang bisa diperhatikan untuk menentukan justifikasi khusus untuk mengadakan
tax amnesty jilid 3.
Pertama, tujuan
tax amnesty adalah sebagai sumber penerimaan. Namun menurut Bawono, setoran pajak dari
tax amnesty yang dilakukan berulang dalam jangka waktu yang dekat, hasilnya tidak akan sebesar penerimaan periode sebelumnya.
Ia mencontohkan, pada tahun 2016, pemerintah meraup Rp 135 triliun berkat penyelenggaraan
tax amnesty. Namun, pada tahun 2022, tambahan penerimaan pajak yang diperoleh dari program pengungkapan sukarela (PPS) hanya senilai Rp 61 triliun.
"Sepanjang dilakukan
tax amnesty, akan ada penerimaan (pajak) yang kecil. Jadi memang (pemerintah) lebih diprioritaskan penerimaan (pajak) jangka pendek," ungkapnya dalam acara yang digelar oleh Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI), Rabu (16/4).
Kedua,
tax amnesty bertujuan untuk memperluas basis pajak. Bawono menilai perluasan basis pajak kurang relevan untuk menjustifikasi penyelenggaraan
tax amnesty. Mengingat jika tujuannya adalah memperluas basis pajak, namun sebaliknya realisasi beberapa tahun terakhir dimana basis pajak justru tumbuh dua digi tanpa melalui program
tax amnesty.
Hal ini bisa dilihat selama periode kurun waktu 2023 - 2024, jumlah wajib pajak terdaftar naik 17% dari 74 juta wajib pajak menjadi 86,7 juta wajib pajak. Capaian pertumbuhan di angka dua digit tersebut tercapai meski tidak ada program
tax amnesty.
Justru ia menilai, program-program yang dapat menyokong perluasan basis pajak dalam beberapa tahun terakhir adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, penetapan natura sebagai objek PPh, permintaan data kepada ILAP, hingga
automatic exchange of information (AEOl).
"Apakah
tax amnesty diperlukan untuk memperluas basis pajak? Memang perlu, tetapi jangan-jangan sudah banyak instrumen lain yang sudah berhasil meningkatkan basis pajak dan mengikis
shadow economy," ucap Bawono.
Ketiga,
tax amnesty bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak. Bawono menjelaskan, penyelenggaraan
tax amnesty secara berulang justru berpotensi mengikis kepatuhan sukarela. Dengan demikian, menurutnya kepatuhan bukanlah justifikasi yang tepat untuk kembali menyelenggarakan
tax amnesty.
Sehingga ia menilai penyelenggaraan
tax amnesty justru memberikan sinyal kepada wajib pajak bahwa otoritas pajak cenderung lemah dan tidak mampu melakukan penegakan hukum.
"Ketika
tax amnesty dilakukan dan ada tendensi untuk melakukan hal tersebut, pemerintah bisa jadi dianggap lemah, bukan pemaaf," katanya.
Keempat, bertujuan mendorong repatriasi harta dari luar negeri. Menurut Bawono,
tax amnesty bukanlah faktor yang menentukan keputusan pelaku usaha dalam menempatkan modal. Keputusan repatriasi lebih didorong oleh faktor pajak seperti sistem pajak, dan bukan tax amnesty atau faktor-faktor nonpajak.
Faktor sistem pajak tersebut akan mendorong pemilik modal melakukan repatriasi jika yurisdiksi bergeser dari sistem
worldwide ke sistem teritorial.
Saat ini, Indonesia menganut sistem
worldwide meski terdapat pengecualian terhadap dividen luar negeri yang direpatriasi ke dalam negeri. Sementara itu, faktor nonpajak yang paling menentukan keputusan penempatan modal adalah
rate of return.
"Keputusan menaruh dana pada yurisdiksi ialah masalah
return, risiko,
yield, dan lainnya. Jika ada risiko valas, tentu mereka
reluctant menempatkan dana di situ," tutur Bawono.
Kelima,
tax amnesty guna mewujudkan keadilan. Bawono menuturkan
tax amnesty bisa menjadi kebijakan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, mewujudkan solidaritas, dan memastikan beban pajak terdistribusi secara merata.
Menurutnya selama ini penerimaan pajak Indonesia disokong oleh segelintir wajib pajak yang berasal dari sektor-sektor tertentu, sehingga
tax amnesty diharapkan bisa memperbaiki hal tersebut. Tak hanya itu,
tax amnesty bisa berperan sebagai
solidarity tax yang dirancang mendorong orang kaya untuk memberikan kontribusi lebih negara.
"Ketika ada isu ketidakadilan,
solidarity tax sebagai
top-up tax bagi orang tertentu ini bisa dipertimbangkan," ujarnya.
Keenam,
tax amnesty bisa sebagai jembatan ke era pajak baru. Bawono menjelaskan penyelenggaraan
tax amnesty bisa menjadi penanda dari dimulainya implementasi coretax administration system, pendirian lembaga pajak baru, penetapan pungutan baru, dan lain-lain.
"
Tax amnesty bisa dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan pemerintah di era berikutnya. Apakah akan ada pembabakan seperti sebelum
launching coretax, sebelum BPN, sebelum Pengadilan Pajak di bawah MA. Itu perlu kita lihat lebih lanjut," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News