KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hong Kong menghadapi ancaman resesi untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global. Ekonomi Hong Kong masih belum hidup betul akibat protes paling brutal yang sedang dihadapi negara bekas koloni Britania Raya ini. Sejumlah hotel dan pusat perbelanjaan mewah tercatat belum beroperasi secara normal guna menghindari aksi kekerasan polisi yang dilakukan untuk memukul mundur para demonstran. Begitu juga sejumlah restoran kecil, hingga bandara yang biasanya ramai pengunjung justru terlihat sangat sepi. Jaringan kereta kota alias MTR bahkan telah mengumumkan untuk menghentikan operasi sejak 4 Oktober 2019 lalu.
Sejak triwulan II-2019, pertumbuhan ekonomi Hong Kong juga telah anjlok ke level negatif. Sejumlah ekonom juga memprediksikan perlambatan ini masih akan terjadi hingga akhir 2019.
Baca Juga: Pemimpin Hong Kong: Ekonomi Hong Kong saat ini sangat menderita Beberapa indikator yang menunjukkan ancaman resesi terhadap Hong Kong misalnya, penjualan ritel anjlok hingga 23% pada Agustus dibandingkan awal tahun. Ini disebabkan merosotnya permintaan perhiasan maupun jam tangan mewah. Kedatangan turis juga tercatat merosot hingga 40% pada Agustus dibandingkan awal tahun menjadi hanya sekitar 3,6 juta kedatangan turis saja. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan jumlah kunjungan pada 2003, ketika Hong Kong diserang wabah SARS. Sementara nilai ekspor Hong Kong tercatat menjadi yang paling rendah selama satu dekade terakhir. Badan Pengembangan Perdagangan Hong Kong bahkan telah memperingatkan hingga akhir tahun nilai ekspor akan makin menurun. Sejumlah ekonom memprediksi hingga akhir 2019 pertumbuhan ekonomi Hong Kong bahkan tak akan mencapai 1%. JP Morgan & Chase & Co bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Hong Kong cuma 0,3% pada akhir tahun ini. Perlambatan juga ikut mendistorsi indeks harga saham Bursa Hong Kong MSCI yang telah menurun 18% sejak April lalu. Emiten di sektor properti dan konsumer jadi pemberat pelemahan indeks. Catatan ini juga diprediksi akan makin buruk ketika Hong Kong kelak bergabung dengan Cina. Industri manufaktur maupun pariwisata yang selama ini jadi andalan pendapatan diprediksi akan terkena imbasnya. “Saya tidak melihat ada pendorong yang kuat yang secara instan dapat mengubah situasi di Hong Kong,” kata
Senior Asia economist Pictet Wealth Management Dong Chen dikutip dari
Bloomberg, Kamis (10/10).
Menurut Chen, Hong Kong memang mesti menyiapkan strategi jangka panjang yang tak cuma mempertimbangkan arus demonstrasi melainkan juga soal integrasinya dengan China.
Baca Juga: Pemerintah Hong Kong: Keselamatan publik saat ini dalam ancaman Menghadapi ancaman resesi, pemerintah Hong Kong yang dipimpin Carrie Lam juga telah meluncurkan paket stimulus pada Agustus lalu dengan menggelontorkan US$ 2,4 miliar untuk sejumlah layanan publik dari pemerintah. Pertengahan Oktober mendatang, Lam juga dikabarkan akan menambah nilai bantuan pemerintah tersebut. “Paket stimulus fiskal dengan nilai besar, waktu yang tepat, termasuk potongan pajak dan insentif memang dapat mengurangi dampak resesi dan merangsang ekonomi dalam jangka pendek,” kata Asisten Profesor Departemen Ekonomi Hong Kong Baptist University Paul Luk.
Editor: Herlina Kartika Dewi