Wah, 74% utang valas swasta tidak dihedging



JAKARTA. Setelah digaungkan sejak 2013, implementasi aturan lindung nilai atawa hedging atas pinjaman luar negeri berdenominasi dollar Amerika Serikat (AS) masih minim. Padahal utang luar negeri korporasi kian menumpuk.

Data Bank Indonesia (BI) per Januari 2015, menyebutkan, utang luar negeri swasta, termasuk BUMN, sudah menyentuh US$ 163 miliar. Utang tersebut terdiri dari utang jangka panjang (US$ 115,86 miliar) dan utang jangka pendek (US$ 47,05 miliar).

Dari total utang swasta tersebut, termasuk BUMN, hanya sekitar 26% atau US$ 42,38 miliar telah di-hedging. Sisanya, 74%, belum di-hedging sehingga berpotensi membengkak saat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah. "Kami berharap BUMN dan korporasi swasta untuk hedging dengan menerapkan assessment risiko yang baik," ujar Agus Martowardojo, Gubernur BI, kemarin (10/4).


Melihat data ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan tujuh perusahaan pelat merah akan segera melakukan hedging. Menteri BUMN Rini Soemarno menyebut, sudah ada empat BUMN yang telah berkomitmen untuk melakukan lindung nilai terhadap utang-utangnya, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan Bank Mandiri Tbk.

Selain keempat perusahaan itu, Kementerian BUMN mendesak tiga BUMN besar untuk hedging, yakni PT Pertamina, PT Krakatau Steel, dan PT Aneka Tambang karena ketiga korporasi ini memiliki utang dollar AS cukup besar.

Rini menilai penerapan aturan hedging menguntungkan BUMN, khususnya BUMN tambang dan infrastruktur yang berutang valas. Selama ini banyak BUMN enggan hedging karena khawatir dianggap merugikan negara sehingga akan diperiksa oleh penegak hukum. "Padahal lindung nilai ini agar pengelolaan keuangan pruden," kata Rini, Jumat kemarin (10/4).

Kementerian BUMN bahkan mengusulkan agar kebijakan lindung nilai ini tak hanya diterapkan pada utang berdenominasi dollar AS, juga terhadap utang berdenominasi Yen dan Renminbi atau Yuan.

Pada kesempatan yang sama, Ditektur Utama PT PLN Sofyan Basir mendukung penerapan hedging karena akan memitigasi risiko dari pinjaman valas oleh PLN. Dari Rp 1.200 triliun biaya yang dibutuhkan oleh PLN untuk membangun proyek listrik 35.000 megawatt, sekitar Rp 600 triliun dari pinjaman. Dana pinjaman tersebut untuk membangun pembangkit, transmisi, gardu induk, dan jaringan distribusi listrik sampai tahun 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa