Wajib divestasi saham asing tunggu situasi



JAKARTA. Kementerian Pertanian akan menunda lagi penerbitan aturan kewajiban divestasi 70% saham perusahaan asing bidang hortikultura. Pertimbangannya, situasi ekonomi dalam negeri dan luar negeri belum mendukung penerapan beleid ini.

Awalnya, Kementerian Pertanian (Kemtan) akan menerbitkan Peraturan Menteri (Permentan) aturan divestasi saham asing di sektor hortikultura pada tahun 2016. Permentan tersebut sebagai turunan dari ketentuan pasal 131 ayat 2, Undang-undang (UU) Nomor 13/2010 tentang Hortikultura.

Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kemtan, Spudnik Sujono menyatakan, pengesahan Permentan menunggu kondisi ekonomi global membaik. "Tidak ada kendala apa-apa. Hanya saja, saat ini kondisi ekonomi kita sedang tidak kondusif. Agar tidak bikin tambah gaduh, kita tunggu dulu sampai kondisi ekonomi kondusif," kata dia kepada KONTAN, Rabu (1/3).


Spudnik menambahkan, penyusunan draf Permentan sudah tuntas dan sudah diserahkan ke Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Kemtan juga telah menggelar dengar pendapat publik (public hearing) terkait rancangan aturan tersebut beberapa kali dengan para pelaku usaha terkait. "Kami juga memberi waktu bagi pihak terkait untuk mempersiapkan diri, biar win-win solution," imbuhnya.

Rancangan Permentan tersebut menyebutkan, perusahaan asing yang memiliki saham 100% di Indonesia harus melakukan divestasi atau pelepasan saham sebanyak 70%. Artinya, maksimal investasi asing di perusahaan hortikultura adalah 30%. Aturan ini berlaku surut. Menurut Spudnik, rancangan Permentan ini menjadi instrumen aplikasi dari UU Hortikultura yang terbit tahun 2010 silam.

Pengamat pertanian Khudori mengatakan, bukan hanya kali ini saja Kemtan menggantungkan nasib kebijakan. Buktinya, beberapa undang-undang (UU) digugat dan telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diubah. "Sebenarnya, persoalan kebijakan seperti ini wajib dituntaskan Kemtan," terangnya.

Persoalan lainnya, tidak ada sanksi terhadap Kemtan bila tidak menunaikan kewajiban. Khudori mengambil contoh soal pasal 126-129 UU Pangan yang mengamanatkan pembentukan lembaga pangan. Sampai kini, belum ada lembaga itu. Padahal, tenggatnya maksimal Oktober 2015. Ia menduga, kelanjutan instrumen aplikasi UU sengaja dibiarkan oleh pemerintah. "Pengabaian ini harus menjadi perhatian Presiden," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini