JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, masih ada beberapa emiten yang belum memenuhi ketentuan jumlah saham beredar di publik atau
free float. Batas waktu aturan ini sejatinya pada akhir Januari lalu. BEI sudah memberikan sanksi peringatan kepada emiten yang belum memenuhi persyaratan ini. BEI memberi kesempatan perpanjangan waktu bagi emiten-emiten ini sekitar enam bulan. Samsul Hidayat, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, BEI masih mendata sejumlah emiten saham yang sedang dalam proses pemenuhan aturan free float. Data terakhir, ada 18 emiten yang belum memenuhi ketentuan.
"Tapi sekarang data bergerak terus, karena sudah ada yang mulai memenuhi aturan tersebut," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (12/4). Samsul mengatakan, emiten masih memiliki waktu sampai bulan Juni untuk memenuhi beleid itu. Sanksi terberat adalah suspensi saham. Namun, BEI belum tentu akan langsung mensuspensi karena masih akan memonitor emiten kasus per kasus. "Sebenarnya kami sudah memberi sanksi, yakni peringatan. Kemudian kami akan memonitor lagi sampai bulan Juni. Karena masih banyak yang belum memenuhi," ujarnya. Samsul menjelaskan, beberapa emiten kesulitan menambah jumlah saham beredar, misalnya melalui mekanisme rights issue. Pasalnya, belum tentu ada yang menyerap saham. Karena itulah BEI masih memberikan keringanan waktu. "Jika memang sudah diusahakan rights issue, tapi sulit yang menyerap, kami tidak bisa memaksakan begitu saja. Sehingga, ini akan dilihat kasusnya emiten per emiten," imbuh Samsul. Seperti diketahui, aturan mengenai free float ini tercantum dalam Peraturan Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat. Emiten wajib memenuhi
free float minimal 50 juta saham dan minimal 7,5% dari jumlah saham dalam modal ditempatkan dan disetor. Penyebaran jumlah saham juga diatur minimal 300 pemegang saham yang memiliki rekening efek di Anggota Bursa. Beberapa emiten sudah melakukan aksi korporasi untuk memenuhi likuiditas 7,5% saham beredar di publik. Tapi, ada juga emiten yang belum memenuhi standar baru jumlah saham dan penyebaran kepemilikan saham. Salah satu cara yang dilakukan untuk menambah sebaran kepemilikan saham adalah dengan pemecahan nilai nominal saham alias
stock split. Yang terbaru, PT Asuransi Bintang Tbk (ASBI) akan memecah nilai nominal sahamnya, dari Rp 500 menjadi Rp 250. Artinya, rasio stock split sebesar 1:2. Saham ASBI yang kini diperdagangkan di level Rp 463 per saham akan turun menjadi separuhnya. Rencana
stock split ini tertuang dalam agenda Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) ASBI pada 1 Juni 2016. Sebelumnya, beberapa emiten menggelar
stock split seperti PT Alakasa Industrindo Tbk (ALKA) dan PT Merck Tbk (MERK) untuk memenuhi ketentuan BEI. Salah satu emiten yang belum memenuhi ketentuan
free float 7,5% saham adalah PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS). Perusahaan milik Grup Sinarmas ini mengaku sudah mendapat surat peringatan dari BEI terkait pemenuhan aturan
free float tersebut. Saat ini, jumlah saham publik GEMS hanya 3%. Sudin Sudirman, Sekretaris Perusahaan GEMS, mengatakan, pihaknya masih berupaya memenuhi ketentuan 7,5% saham beredar. Namun, skema masih dibahas di level direksi. "Saat ini pasar batubara juga sedang sulit. Kalau rights issue, belum tentu akan terserap semuanya. Makanya, kami masih berdiskusi soal rencana terbaik untuk pelepasan saham tersebut," ujar Sudin, kepada KONTAN. Selain GEMS, beberapa emiten yang jumlah sahamnya di bawah batas minimum, misalnya saja PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) dan PT Sinar Mas Agro and Technology Tbk (SMAR). William Surya Wijaya, Analis Asjaya Indosurya Securities, mengatakan, ketentuan
free float memang bisa meningkatkan likuiditas saham agar lebih banyak ditransaksikan. Tapi, menurut William, belum tentu emiten yang menambah jumlah saham di publik langsung menarik untuk ditransaksikan.
"Saat ini sektor yang bagus untuk di-trading adalah konsumer dan CPO," ujarnya. Menurut William,
rights issue demi meningkatkan saham di publik belum tentu akan direspons positif. Sebaliknya, aksi
rights issue yang menimbulkan efek dilusi seringkali memberi sentimen negatif terhadap suatu saham. David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, saham-saham emiten konsumer masih banyak diburu oleh investor. Sehingga, emiten konsumer yang masih belum likuid, sebaiknya memang kembali menjual saham ke publik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie