KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, M. Hanif Dhakiri, menegaskan bahwa masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty dalam Prolegnas 2025 harus didasarkan pada analisis kebutuhan fiskal negara dan target yang jelas. Ia menekankan bahwa tanpa reformasi sistem perpajakan yang mendasar, kebijakan ini berisiko memperkuat ketidakpatuhan pajak dan melemahkan kepercayaan terhadap sistem perpajakan. “RUU Tax Amnesty tidak boleh hanya menjadi solusi sementara untuk meningkatkan penerimaan negara. Program ini harus dirancang dengan hati-hati dan diiringi reformasi sistem pajak yang menyeluruh agar memberikan dampak positif jangka panjang,” ujar Hanif dalam keterangan resminya, Rabu (20/11).
Baca Juga: Tax Amnesty dan Kemunduran Hukum Hanif mengingatkan bahwa Indonesia telah melaksanakan dua kali program tax amnesty sebelumnya, yaitu pada 2016-2017 dan 2022. Kedua program tersebut berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga meninggalkan tantangan dalam menjaga kepercayaan wajib pajak. Hanif menggaris-bawahi tiga aspek penting yang harus diperhatikan.
Pertama, tax amnesty harus menjadi bagian dari reformasi sistem perpajakan yang lebih luas. Menurutnya, program tersebut harus diiringi penguatan basis data wajib pajak, percepatan digitalisasi pajak, dan penegakan hukum yang tegas. “Reformasi ini penting untuk memastikan sistem perpajakan yang lebih kredibel dan mampu mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela,” tambahnya.
Baca Juga: Tax Amnesty Jilid III Berpotensi Gerus Kepatuhan Wajib Pajak Kedua, pembahasan RUU ini perlu dilakukan secara transparan dan didasarkan pada kebutuhan yang jelas. Hanif menyebut, pemerintah harus menyajikan data dan analisis akurat mengenai dampak fiskal dan proyeksi manfaat dari kebijakan ini.
Ketiga, kebijakan ini harus menjaga keadilan bagi wajib pajak yang patuh. Ia mengingatkan, jangan sampai tax amnesty menciptakan ketimpangan atau persepsi bahwa ketidakpatuhan dapat diampuni tanpa konsekuensi. "Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pajak,” ujarnya. Kendati demikian, menurut Hanif, RUU Tax Amnesty juga punya urgensi, yaitu menarik dana yang mungkin cukup besar yang selama ini berada di luar sistem keuangan negara, untuk mendongkrak penerimaan, mendorong pertumbuhan dan memperkuat keuangan negara.
Baca Juga: Tax Amnesty Jilid III Berpotensi Gerus Kepatuhan Wajib Pajak Black money hasil praktik dari u
nderground economy dan transfer
pricing dari ekspor yang diparkir di luar negeri menjadi potensi besar yang harus diintegrasikan ke dalam sistem perekonomian formal. Oleh karena itu, semuanya harus dikalkulasi, baik plus minus dan desain dari tax amnesty harus dikaji secara mendalam. Pada akhirnya, kendati telah masuk Prolegnas, pembahasan RUU ini tetap bergantung pada relevansi dan urgensinya. “Jika setelah dikaji manfaatnya tidak optimal atau justru merugikan, pembahasannya dapat ditunda atau bahkan dikeluarkan dari Prolegnas. Kalau manfaatnya besar ya kita lanjutkan,” tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli