Walaupun terus menurun, valuasi IHSG masih lebih mahal daripada bursa Asia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) boleh saja anjlok 5,93% sepanjang tahun ini dan mencetak kinerja terburuk di Asia. Namun rata-rata rasio price to earning (PE) IHSG masih jauh lebih tinggi dari negara Asia lainnya di 18,7 kali.

Sejumlah analis menilai, valuasi IHSG cukup mahal karena berada di atas rata-rata. Melansir data dari Bloomberg, Jumat, (17/5) valuasi band posisi PE IHSG sekarang ada di 18, kali, price to book value (PBV) 2 kali dan P/S 1,7 kali.

Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas menjelaskan, dibandingkan dengan rata-rata bursa Asia yang berada di 16 kali artinya valuasi IHSG tergolong mahal. “Namun dengan kondisi saat ini melihat dari sisi teknikalnya, IHSG masih bisa turun dengan target menutup area gap di range area 5.835-5.851,” kata Sukarno kepada Kontan.co.id, Jumat (17/5).


Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan tinggi Rasio PE lebih mahal dibanding yang lain. “Tapi faktor mahal kan masih melihat historis dan juga potensi growth earning,” ujarnya.

Sukarno mengatakan, untuk saat ini sentimen eksternal dan internal yang mempengaruhi indeks masih seimbang. Faktor eksternal datang dari perang dagang Amerika Serikat dan China. Sedangkan internal masalah politik khususnya pemilihan presiden masih wait and see.

Melansir data dari RTI tercatat net sell asing selama setahun ini di pasar regular mencapai Rp 2,06 triliun. Investor asing keluar dari pasar Indonesia untuk mengamankan cash terlebih dahulu sambil menunggu kepastian kondisi politik Indonesia.

Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan valuasi IHSG memang terlihat lebih mahal dibandingkan dengan bursa Asia. “Namun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya lebih baik,” jelasnya. Hal ini yang bisa mengundang investor asing tetap betah investasi di bursa Indonesia.

Sukarno menyarankan agar investor yang mau masuk ke saham LQ45 menunggu sinyal indeks. Adapun saham defensif yang bisa dicermati adalah dari sektor consumer goods dan perbankan. Namun investor tetap harus sabar menunggu sinyal terlebih dahulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati