Wall Street merosot, investor mengkhawatiran kenaikan biaya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wall Street merosot pada perdagangan terakhir pekan lalu. Penurunan tiga indeks utama bursa Amerika Serikat (AS) mencapai lebih dari 1% dalam sehari. Dow Jones Industrial Average turun 1,19% ke 24.688,31. S&P 500 turun 1,73% ke 2.658,69.

Bahkan Nasdaq turun hingga 2,06% ke 7.167,21. Dalam sepekan, indeks Nasdaq turun 3,78%. Indeks S&P 500 turun 3,94% dalam lima hari perdagangan dan Dow Jones turun 2,97% pada periode yang sama.

Investor melihat, laporan kinerja keuangan emiten kuartal ketiga menunjukkan pesan yang kurang jelas soal kenaikan biaya barang dan tenaga kerja. "Saya tidak mengerti kenapa perusahaan-perusahaan sulit mengakui bahwa AS tengah dalam kondisi kenaikan inflasi," kata Richard Bernstein, chief executive Richard Bernstein Advisors LLC kepada Reuters.


Inflasi yang mendatar dalam 10 tahun rally pasar saham sekarang digantikan oleh psikologi investor yang khawatir akan kenaikan biaya dan penurunan margin. Inilah yang menjadi pemicu utama penurunan pasar saham AS dalam sebulan terakhir.

Menurut data Departemen Tenaga Kerja AS, inflasi barang konsumen mencapai 2,3% secara year to date hingga September. Bahkan, angka inflasi inti yang tidak memasukkan harga energi dan volatile food pun masih ada di 2,2%, lebih tinggi daripada target Federal Reserve.

Dengan tingkat pengangguran di level 3,7% yang merupakan level terendah dalam 40 tahun terakhir, pertumbuhan upah tahunan mencapai 2,9%. Pertumbuhan upah ini mencapai level tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.

Pertumbuhan laba emiten hingga pelaporan terakhir mencapai 22%. Dari total emiten yang sudah melaporkan kinerja, separuhnya mencapai laba lebih dari estimasi analis. Para analis menilai, pasar saham kemungkinan akan tetap tertekan jika perusahaan-perusahaan AS tidak menaikkan harga jual untuk mengimbangi kenaikan biaya tenaga kerja dan bahan baku.

Bulan lalu, CEO Ford Motor Co mengungkapkan bahwa laba perusahaan otomotif ini bisa terpangkas US$ 1 miliar akibat tarif impor baja dan aluminium. "Partisipan pasar khawatir bahwa saat ini laba emiten-emiten mencapai puncak karena kenaikan biaya. Selanjutnya, margin laba emiten bisa tertekan," kata Fritz Folts, chief investment strategist 3EDGE Asset Management LP.

Di sisi lain, dua produsen barang konsumer besar, yakni Nestle dan Unilever melaporkan penjualan yang meningkat seiring kenaikan inflasi AS. Berstein mengatakan, dia menginvestasikan dana pada saham-saham berdasarkan sektor, terutama sektor konsumer yang diuntungkan faktor musiman. Apalagi sektor ini bisa mengenakan kenaikan biaya pada harga barang ke konsumer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati