Wall Street tumbang di awal perdagangan Rabu (6/10)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wall Street turun di awal perdagangan Rabu (6/10). Pukul 21.20 WIB, Dow Jones Industrial Average turun 1,19% ke 33.906. Indeks S&P 500 melorot 0,99% ke 4.302. Sedangkan Nasdaq Composite melemah 0,68% ke 14.340.

Indeks saham Amerika Serikat (AS) turun pada hari Rabu setelah survei menunjukkan kenaikan kuat dalam pekerjaan swasta bulan lalu memicu kekhawatiran pelonggaran stimulus moneter yang lebih cepat dari perkiraan. Laporan Ketenagakerjaan Nasional ADP menunjukkan gaji swasta meningkat 568.000 pekerjaan pada bulan September. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan gaji swasta akan meningkat 428.000 pekerjaan.

"Singkatnya, sepertinya kenaikan dalam lapangan kerja akan memenuhi syarat sebagai layak, yang merupakan ambang batas yang disarankan Gubernur Federal Reserve Jerome Powell untuk melanjutkan pengumuman pengurangan stimulus pada pertemuan akhir November," kata Paul Ashworth, kepala AS ekonom di Capital Economics seperti dikutip Reuters.


Baca Juga: IHSG melesat 2,06% hari ini, simak proyeksi analis pada perdagangan Kamis (7/10)

Angka-angka tersebut muncul menjelang data non-farm payrolls yang lebih komprehensif pada hari Jumat (8/10). Para pengamat memperkirakan non-farm payroll akan memperkuat alasan pengurangan pembelian aset oleh Federal Reserve.

Imbal hasil obligasi acuan US Treasury 10-tahun menyentuh level tertinggi sejak Juni. Kenaikan yield ini memukul saham perusahaan mega-cap termasuk Apple Inc, Facebook, Amazon.com Inc dan Alphabet Inc, yang masing-masing turun sekitar 1% setelah rebound yang kuat pada hari Selasa.

Saham-saham perbankan seperti Bank of America Corp, JPMorgan Chase & Co dan Morgan Stanley masing-masing turun sekitar 1%. Pembuat pesawat Boeing Co serta konglomerat industri Caterpillar Inc dan 3M Co turun antara 0,8% dan 1,3%.

Baca Juga: IHSG punya kans menguat lagi, simak rekomendasi saham untuk perdagangan Kamis (7/10)

Pasar saham Asia dan Eropa jatuh pada hari sebelumnya karena harga minyak mencapai level tertinggi tahunan di atas US$ 83 per barel di tengah reli harga energi global. Kenaikan harga minyak memicu kekhawatiran bahwa bank sentral utama akan memperketat kebijakan moneter untuk melawan inflasi tajam.

"Lonjakan harga energi terus memicu ekspektasi inflasi yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, bank sentral akan dipaksa untuk mendinginkan inflasi yang terlalu panas daripada mencoba mendorong pemulihan," kata Ipek Ozkardeskaya, analis senior di Swissquote Bank.

Kebuntuan atas Partai Republik dan Demokrat tentang batas utang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Presiden Joe Biden mengatakan bahwa Demokrat mungkin membuat pengecualian terhadap aturan Senat AS untuk memungkinkan mereka memperpanjang otoritas pinjaman pemerintah tanpa bantuan Partai Republik.

Baca Juga: Blue chips jadi rebutan, LQ45 melonjak 2,87%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati