KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan
sovereign wealth fund (SWF) Indonesia bernama Indonesia Invesment Authority (INA) akan beroperasi sekitar akhir Februari atau atau Maret tahun 2021 ini. Ini lebih cepat dari rencana semula yang ditargetkan pemerintah bahwa INA atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) akan beroperasi pada kuartal II 2021. Ini menyusul gerak cepat yang dilakukan pemerintah, termasuk parlemen yang menyetujui dewan pengawas INA dari kalangan professional pekan lalu. Mereka adalah Darwin Cyril Noerhadi, Yozua Makes, dan Haryanto Sahari. Mereka bertiga akan bekerja bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir yang merupakan dewas dari pemerintah untuk mempersiapkan operasi INA, termasuk mengusulkan
chief executive officer atau CEO INA.
I
Baca Juga: Ada tiga hak istimewa Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk LPI, simak selengkapnya “Dengan begitu, Dewan Pengawas juga bisa bekerja cepat untuk mengusulkan calon CEO INA yang kemudian akan segera diputuskan Presiden dalam waktu dekat ini, ” ujar Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam acara Business Talk, Kompas TV –Kontan, Selasa (26/1). Enggan menyebut nama calon CEO INA, sejumlah nama calon CEO INA memang sudah beredar. Antara lain; Pandu Patria Sjahrir, Komisaris Bursa Efek Indonesia, lalu ada nama mantan Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, Presiden Direktur PT Indika Energy Arsjad Rasjid, CEO PT Bank CIMB Niaga Tigor Siahaan, serta Presiden Direktur PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia Rizal Gozali. Dari sumber KONTAN yang lainnya, pemerintah akan mengumumkan CEO INA dalam minggu ini. Ini agar orang nomer satu di INA bisa bekerja cepat termasuk memilih
board of director yang akan bekerjasama mengoperasikan INA.
Baca Juga: SWF di tiga negara ini jadi rujukan dalam membentuk Indonesia Investment Authority Tak menampik informasi tersebut, kata Tiko panggilan karib Wamen Kartika, lembaga pengelola investasi memang bergerak cepat untuk menarik investasi dari pemilik dan pengelola dana jumbo di banyak negara. Kata Tiko, saat ini tren penanaman modal di
world wide berubah. Tak melulu masuk portfolio seperti saham dan obligasi, namun banyak pemilik dana yang juga berminat masuk dalam proyek. “Kondisi saat ini menjadi momentum bagus bagi INA untuk memulainya, dengan melihat imbal hasil di banyak negara turun, suku bunga rendah. Mereka tentu ingin mendapatkan imbal hasil yang menarik,” ujar Tiko. INA bisa menjadi pilihan lantaran memiliki infastruktur yang memadai baik dari kepastian lantaran INA lahir dari UU Cipta Kerja yang merupakan omnibus law dari banyak aturan. Apalagi dalam tahap awal, para pemilik dana memiliki keluasaan lantaran INA sudah menyiapkan proyek-proyek brown field yang bisa mereka masuki, antara lain jalan tol, pelabuhan atau port sampai bandara.
Baca Juga: Menko Airlangga: Ada 2 jenis pendanaan untuk LPI “Jika melihat IRR (internal rate of return) proyek jalan tol yang brown field di atas 13%-17%, ini tentu menarik investor,” ujar Tiko. Belum lagi bandara seperti Soekarno Hatta, Pelabuhan (Sea Port). Secara bertahap, INA juga akan menawarkan proyek green field dalam berkembangannya. Berbeda dengan SWF di negara lain, INA mengajak investor untuk bermitra dengan Indonesia dalam mengelola proyek. “Tidak ada garansi return tapi kami dan investor akan bekerjasama agar proyek berjalan sesuai dengan targetnya dengan tetap mampu menjaga risiko,” ujar Tiko.
Baca Juga: Sri Mulyani: Jatah laba pemerintah dari LPI bisa lebih dari 30% Pemerintah lewat BUMN masih memiliki saham di proyek tersebut, dan investor dalam jangka waktu tertentu bisa melepas kepemilikannya. Menurutnya, INA sudah mendapatkan banyak letter of interest dari International Developmeny Finance Corporation (DFI), JIBIC serta United Arab Emirates.
Misal, dari International Development Finance Corporation (DFC) sebesar US$2 miliar,dari JBIC dengan potensi pendanaan di atas US$ 4 miliar serta
interest informal komitmen sebesar lebih dari US$2 miliar dari CDPQ Kanada untuk pembangunan jalan tol.
Lalu, masih ada ketertarikan
interest dari APG Belanda sebesar US$1,5 miliar dan Macquarie dengan potensi US$ 300 juta. Kata Tiko, dalam operasinya INA kelak berpegang pada capital maximation, economic development, serta menjaga stabilitas ekonomi.
Baca Juga: Insetif pajak dalam SWF menjadi daya tarik bagi mitra investasi Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Titis Nurdiana