KONTAN.CO.ID – ANYER. Penurunan jumlah masyarakat sedang menjadi perbincangan yang hangat. Pasalnya kelas menengah adalah tulang punggung perekonomian, bila patah maka akan berimbas pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2019 jumlah masyarakat kelas menengah mencapai 57,33 juta, kemudian turun menjadi 53,83 juta pada 2021. Selanjutnya, jumlah masyarakat kelas menengah juga tercatat kembali turun pada 2022 menjadi 49,51 juta, turun pada 2023 menjadi 48,27 juta, dan pada 2024 turun menjadi 47,85 juta. Artinya, dalam 5 tahun saja, jumlah masyarakat kelas menengah berkurang sekitar 9,48 juta.
Wakil Menteri Keuangan I Thomas Djiwandono mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan faktor utama turunnya masyarakat kelas menengah. Kala itu, memang banyak pekerja kantoran atau buruh pabrik yang diberhentikan karena sektor usaha mengalami guncangan. Ia menyampaikan, merosotnya jumlah masyarakat menengah ini juga menjadi pekerjaan rumah (PR) penting bagi presiden terpilih, termasuk dengan menyediakan solusi jangka panjang.
Baca Juga: Kemenkeu Sudah Kucurkan Insentif PPN DTP Perumahan Rp 1,3 Triliun “Saya rasa ini menjadi PR kepada pemerintah-pemerintah Prabowo yang utama, bagaimana supaya kita mencari solusi-solusi jangka panjang untuk kembali ke level-level yang pra pandemi,” tutur Thomy dalam media gathering Kemenkeu, Rabu (25/9). Thomy juga menyampaikan, saat ini perhatian Kemenkeu juga sedang tertuju untuk menyediakan solusi bagaimana agar kelas menengah ini kembali meningkat seperti sebelumnya, bahkan memberikan ruang agar masyarakat kelas menengah terus tumbuh. “Kalau teman-teman di BKF (Badan Kebijakan Fiskal) itu selalu istilahnya
scaring effect dari pandemi. Nah sekarang bagaimana kita
scaring effect itu kita stop, itu perlu diperdalam lebih dalam,” tambahnya. Sebelumnya, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, jumlah kelas menengah tanpa adanya pungutan baru dan tarif PPN 12% diperkirakan menurun menjadi 46,9 juta orang pada 2025 atau berkurang 2% dari jumlah kelas menengah di 2024. Bahkan, jika adanya pungutan dan tarif pajak baru yang semakin besar maka jumlah kelas menengah bisa menurun 7% hingga 8% menjadi 44,7 juta - 44,3 juta orang di 2025. "Skenario Penurunan jumlah kelas menengah sejalan dengan tren menurunnya porsi
disposable income masyarakat terhadap PDB per kapita," jelas Bhima kepada Kontan, beberapa waktu lalu. Sementara, ragam kebijakan pemerintah kian menekan masyarakat kelas menengah. Beban masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah akan terus bertambah seiring rencana pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12% dan tarif PPN KMS 2,4%.
Baca Juga: Kemenkeu Beberkan Pentingnya Penerapan Solusi Dua Pilar Perpajakan Global Selain itu masih ada sederet kebijakan pemerintah yang diproyeksikan akan semakin menekan jumlah kelas menengah, di antaranya rencana pungutan Tapera, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pembatasan BBM subsidi, subsidi KRL basis KTP, serta aneka kebijakan lainnya. Menurut Bhima pemerintah sebaiknya meringankan beban kelas menengah dengan menurunkan tarif PPN dari rencana 12% menjadi 9%. Sebagian negara melakukan relaksasi PPN pasca pandemi untuk memulihkan daya beli. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari