Waspada, alarm perlambatan ekonomi BRIC menyala



NEW YORK. Outlook terburuk akhirnya menimpa negara-negara yang tergabung dalam BRIC yaitu Brasil, Rusia, India dan China. Kondisi ini memberikan pertanyaan besar, apakah negara-negara yang tergabung dalam emerging market tersebut bisa meneruskan pertumbuhan ekonomi global saat Amerika Serikat (AS) dan Eropa masih tertatih menahan masalah keuangan?

Beberapa indikator memburuknya outlook BRIC adalah data yang diumumkan Kamis (31/5) menunjukkan pertumbuhan ekonomi India berada dalam kecepatan yang paling lambat dalam sembilan tahun terakhir di periode Januari hingga Maret.

Bagi Robert Prior-Wandesforde, Director of Asian Economics Credit Suisse, angka produk domestik bruto (PDB) India tak terlalu signifikan namun sangat mengejutkan. Ruchir Sharma, Head of Emerging Markets, Morgan Stanley menilai, fakta yang ada sudah membuat pasar kecewa. "Dan bisa lebih mengecewakan negara berkembang lainnya khususnya Brasil dan Rusia," ulasnya.


Sinyal bahaya rupanya juga dinyalakan oleh Brasil yang memangkas suku bunga overnight untuk ketujuh kalinya demi mengembalikan laju ekonomi sesuai dengan jalurnya.

Prospek baik itu tak bisa bangkit seketika, terlebih saat pembahasan paket stimulus China sudah sangat santer dibahas beberapa hari terakhir. Hal ini memberikan indikasi, bahwa negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini juga khawatir atas perlambatan ekonomi global.

Wajar jika semua negara berkembang lainnya juga harus waspada. Selama ini, banyak negara yang menjadi satelit BRIC dan menggantungkan laju perekonomiannya.

Data Goldman Sachs selama tiga tahun terakhir merekam, BRIC memberikan kontribusi hingga 50% terhadap pertumbuhan global. Sumbangan itu meningkat drastis dari periode 2000-2007 yang hanya 27%.

Pada kuartal pertama tahun ini, PDB Brasil hanya tumbuh 0,5%, sementara Rusia memangkas proyeksi pertumbuhan tahun ini menjadi 3,4% lantaran lambatnya investasi. Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika China juga memotong target pertumbuhan tahun ini menjadi 7,5% dari 8%. Sebab tahun lalu ekonomi Beijing berhasil menyundul level 9,2%.

Asia Tenggara jadi alternatif

Sinar negara BRIC meredup di akhir dekade lalu. Kondisi yang sama juga berpotensi dialami oleh negara emerging market lainnya yang berukuran lebih kecil seperti Filipina, Indonesia dan Thailand.

Namun, pandangan positif datang dari Mark Matthews, Head of Research Asia, Bank Julius Bear. Ia melihat, Asia Tenggara menawarkan pilihan investasi yang menarik.

"Sebenarnya yang menimpa BRIC hanyalah imbas atas apa yang terjadi di Paman Sam. Saya pikir Asia Tenggara jadi alternatif terbaik saat ini," ujarnya.a

Editor: