MOMSMONEY.ID - Pinjaman daring (pindar) atau yang lebih dikenal dengan pinjaman online (pinjol) bak pedang bermata dua. Di satu sisi, dana segar dari perusahaan teknologi finansial ini bisa membantu melonggarkan beban keuangan. Di sisi lain, bisa membawa konsekuensi tak mengenakkan bagi penggunanya. Tak dipungkiri, banyak pengguna pindar kesulitan memenuhi cicilan dan akhirnya mengalami gagal bayar. Ada yang pusing untuk memenuhi kewajibannya, bahkan harus menggali utang baru untuk menutup yang lama. Namun, marak juga debitur yang sengaja melakukan gagal bayar. Jika menilik sejumlah akun di sosial media, banyak pihak yang mendorong debitur pindar untuk gagal bayar.
Tak lebay memikirkan sumber membayar cicilan, mereka saling mendorong untuk bersama-sama melakukan gagal bayar alias 'galbay'. Harapan para debitur ini, mempersulit fintech pindar memenuhi juga kewajibannya kepada lender atau investor dana pinjaman. "Kalau bisa galbay bersama biar bangkrut!" ujar salah satu akun dengan nama MbahJoko. Bahkan, tak sedikit akun yang tak gentar jika namanya masuk ke dalam catatan hitam Sistem Layanan Informasi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK). Sejumlah fintech peer to peer lending (P2P lending) memang tersandung masalah dengan lender atau investor dana pinjaman lantaran mengalami masalah kredit macet. Alhasil, mereka di ambang kebangkrutan. Ambil contoh Investree Radhika Jaya, PT iGrow Resources Indonesia, dan PT Tani Fund Madani Indonesia yang dikejar-kejar lender untuk pengembalian dana, sementara mencatatkan kredit macet debitur atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di atas 5%, bahkan mencapai dua digit. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 2,38% dana pinjol merupakan kredit macet, per September 2024. Secara nominal, total outstanding pembiayaan di P2P lending sebesar Rp 74,48 triliun. Perencana Keuangan Finansial Consulting Eko Endarto melihat, ajakan gagal bayar ramai-ramai ini dianggap seperti perlawanan investor ritel terhadap bandar saham besar pada perdagangan saham Game Stop di Amerika Serikat. "Mungkin mereka juga menilai, pinjol biasanya perusahaan baru, startup, yang masih riskan bisnisnya, sehingga cukup berani melakukan gagal bayar," kata dia. Padahal, menurut Eko, gagal bayar pindar atau pinjol membawa masalah sendiri bagi debitur. Jika debitur tersebut mengalami gagal bayar dari pinjol ilegal, maka konsekuensinya, menghadapi penagihan yang juga tidak ada aturannya. "Kalau gagal bayar pinjol ilegal, nama debitur tidak akan masuk SLIK OJK. Tetapi, cara penagihannya pun tidak ada aturan, ini bahaya," kata Eko. Sedangkan ketika gagal bayar pada pinjol atau pindar legal, maka tekanan penagihan ada batasannya, sesuai dengan Peraturan OJK No 22/2023. Jika wanprestasi berlanjut, nama debitur akan masuk daftar hitam SLIK OJK. Data SLIK OJK atau yang dulu dikenal dengan istilah BI checking ini menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga jasa keuangan, termasuk bank, sebelum menyetujui permohonan kredit. Nasabah dengan skor kredit macet, akan sulit mengakses kredit, baik itu kredit usaha, kredit kendaraan bermotor, atau kredit pemilikan rumah (KPR). Eko menyayangkan debitur yang tidak khawatir namanya masuk SLIK OJK. Apalagi, jika usianya masih muda. Pasalnya, di masa mendatang, ada peluang debitur ini membutuhkan kredit dari pihak jasa keuangan lain dan tidak mendapatkannya. "Sangat disayangkan misalnya karena gagal bayar pinjol Rp 10 juta, tapi tidak bisa mengambil KPR di masa mendatang," ujar Eko.