KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemudahan akses masyarakat terhadap pinjaman online menyebabkan potensi bisnis ini makin besar. Tapi, masyarakat perlu waspada adanya
fintech peer to peer (P2P)
lending ilegal alias tak berizin.
Satgas Waspada Investasi menemukan 126
fintech P2P
lending ilegal hingga September 2020. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menyatakan umumnya fintech ilegal memiliki memiliki beberapa macam modus. 1. Menggunakan logo instansi terkait dan logo OJK
“Beberapa modus baru yang digunakan saat ini mengaku memiliki izin dari instansi terkait atau mencantumkan logo instansi terkait. Pencatutan nama penyelenggara
fintech P2P
lending, perusahaan pembiayaan, perbankan yang terdaftar atau berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan badan usaha lain yang ada di bawah pengawasan instansi lain,” ujar Tongam kepada Kontan.co.id pada Senin (28/9). 2. Memberikan pinjaman kepada pihak yang tak meminjam Hal ini terjadi lantaran, pengguna telah mengunduh aplikasi
fintech ilegal dan mengisi data berupa nama, nomor rekening, dan sebagainya. "Ternyata tetap dikirim uang dari aplikasi tersebut. Yang bersangkutan dikenakan bunga, biaya administrasi, dan/atau denda. Data yang bersangkutan juga sudah diambil sejak aplikasi diunduh," papar Tongam.
Baca Juga: Pandemi ubah prilaku masyarakat berbelanja, digitalisasi pasar jadi keharusan 3. Alamat dan bunga fintech tidak jelas Modus lain masih juga bermunculan, mulai tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memiliki bunga pinjaman yang tidak jelas serta alamat peminjaman tidak jelas dan berganti nama. 4. Menggunakan berbagai media penyebaran “Media yang digunakan. Pelaku
fintech ilegal tidak hanya menggunakan Google Play Store untuk menawarkan aplikasi, tapi juga
link unduh yang disebar melalui SMS, media sosial, atau dicantumkan dalam situs milik pelaku. Juga menyebar data pribadi peminjam,” tambah Tongam.
Baca Juga: Capai Rp 25,67 triliun, SR013 pecahkan rekor penjualan surat utang ritel online 5. Penagihan tidak sesuai aturan Dia menambahkan,
fintech nakal juga menerapkan cara penagihan yang tidak sesuai aturan. Tagihan juga dilakukan kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan. Juga menggunakan fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual. Juga penagihan sebelum batas waktu. Dia belum bisa memastikan pelaku
fintech ilegal merupakan pihak yang sama atau bukan. Namun Tongam menduga pelakunya adalah oknum yang sama atau berkaitan. "Kami juga belum memperoleh informasi lokasi pasti dari oknum-oknum. Diharapkan melalui proses penegakan hukum, lokasi oknum dapat diperoleh penegak hukum seperti kasus fintech yang sudah ditangani oleh Bareskrim Polri dan Polres Metro Jakarta Utara," tutur Tongam.
Baca Juga: Pengaduan investasi bodong berkurang di masa pandemi Editor: Wahyu T.Rahmawati