Waspada pelambatan ekonomi China bagi Indonesia



JAKARTA. Perlambatan ekonomi adalah momok yang harus segera diselesaikan agar Indonesia bisa keluar dan bergerak menjadi negara maju. Namun, untuk keluar dari perlambatan Indonesia menghadapi banyak tantangan.

Salah satunya berasal dari China. Negeri Tirai Bambu ini mengalami perlambatan  yang cukup signifikan.

Perlambatan ini menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pertumbuhan ekonomi China tahun depan bisa lebih rendah dari perkiraan BI sebelumnya. Awalnya BI perkirakan ekonomi China tahun depan bisa tumbuh 7,3%.


Namun saat ini BI melihat ada potensi tahun depan ekonomi China akan tumbuh di bawah 7,3%. Tahun ini saja BI perkirakan China hanya tumbuh 7,3%. "Ini akan jadi salah satu topik yang kita bahas dalam rapat dewan gubernur (RDG) triwulanan BI besok," ujar Perry pekan lalu.

Bukan tanpa alasan BI memberikan perhatian khusus bagi China. Menurut Perry, berdasarkan hitungan BI setiap 1% pertumbuhan China melambat maka ekonomi Indonesia akan terimbas perlambatan sekitar 0,5%.

Imbas perlambatan ini bisa memberikan pukulan telak bagi ekonomi Indonesia untuk bisa tumbuh lebih baik tahun depan. China saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi normal 7,5% setelah tumbuh 9%-10%.

China sempat mengalami pertumbuhan maksimal 10,41% pada tahun 2010. Tidak heran apabila pada tahun 2010 ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6,1%. Setelah mengalami puncak pada tahun 2010, tahun 2011 ekonomi China turun ke 9,3%, tahun 2012 sebear 7,65%, tahun 2013 sebesar 7,7%, dan data terakhir pada triwulan II 2014 ekonomi China hanya tumbuh 7,5%.

Pengaruh China memang tidak bisa dianggap sepele. China adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China dari Januari-Agustus 2014 sebesar US$ 11,29 miliar atau turun 14,77% dibanding periode yang sama tahun lalu. Januari-Agustus 2013 nilai ekspor non migas Indonesia ke China mencapai US$ 13,25 miliar.

Melambatnya China sebagai konsumen komoditas sumber daya alam (SDA) terbesar menyebabkan harga komoditas akan terus merosot. Ambil contoh karet. Pada bulan Agustus 2014 pertumbuhan harga komoditas ini anjlok 18,57% dibanding Agustus tahun lalu. Lalu pada bulan September 2014 harga komoditas karet turun lebih dalam lagi hingga 18,97%. Pada tahun depan, harga karet pada bulan Agustus dan September diperkirakan BI hanya tumbuh masing-masing sebesar 3,19% dan 3,29%.

Tidak heran apabila untuk tahun depan BI memprediksi ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh pada kisaran 5,4%-5,8%. Untuk tahun ini BI perkirakan Indonesia akan tumbuh 5,1%-5,5% dengan kecenderungan batas bawah.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui China memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan Indonesia. "Pertumbuhan ekonomi kita melambat tahun ini karena Tiongkok (China)," tandas Bambang.

Maka dari itu, sebagai strategi pemerintah tidak akan mengandalkan eskpor untuk mendongkrak pertumbuhan. Yang akan menjadi fokus pemerintah adalah investasi. Menurut Bambang, kalau mau ada pertumbuhan yang lebih baik maka Indonesia harus mengandalkan investasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia