Waspada risiko utang luar negeri



JAKARTA. Isu kenaikan suku bunga The Fed kembali mencuat. Sejumlah data ekonomi Amerika Serikat yang positif, ditambah kenaikan harga komoditas, turut menggiring spekulasi suku bunga The Fed bakal naik lebih cepat.

Lihat saja, tingkat probabilitas kenaikan suku bunga The Fed terus merangkak. Saat ini angkanya 66%, naik dari posisi September sebesar 55%. Ini berarti, peluang bunga The Fed untuk naik pada Desember 2016 sebesar 66%.

Analis Pasar Uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto menilai, pelaku pasar sebenarnya sudah mengantisipasi kenaikan bunga The Fed baik di November maupun Desember. Namun potensi kenaikan bunga lebih besar di Desember.


"Kenaikan pada Desember akan tergantung data ekonomi AS," papar dia.

Hanya, sinyal waspada bagi perekonomian Indonesia disampaikan Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan. Sebab, saat ini utang luar negeri swasta terus menanjak. Bank Indonesia (BI) mencatat, pada akhir 2009, utang luar negeri (ULN) sektor swasta senilai US$ 73,61 juta.

Sementara per akhir Agustus 2016, posisinya US$ 163,33 juta. Hal ini sejalan peningkatan total utang luar negeri Indonesia dari US$ 172,87 juta menjadi US$ 332,05 juta di periode yang sama.

Utang luar negeri Indonesia naik lantaran pasar global memasuki era suku bunga rendah, yang ditandai oleh penerapan suku bunga negatif oleh Jepang dan Eropa.

Menurut Chatib, lonjakan utang luar negeri akan berisiko tatkala AS memperketat stimulus. Lihat saja ketika The Fed memutuskan mengurangi stimulus (tapering off) pada 2013. Kala itu, terjadi arus modal kembali ke AS sehingga mata uang negara-negara di dunia terkena imbas, termasuk Indonesia.

Gejolak kurs ini bisa mengerek nilai utang luar negeri Indonesia. Menurut Chatib, Indonesia harus mewaspadai hal ini, meski kenaikan bunga The Fed mungkin hanya 25 basis poin (bps) di Desember tahun ini.

"Jika nilai pinjaman naik, dalam waktu singkat harus dikembalikan, terutama yang jangka pendek. Jika uang panas masuk dan keluar dengan cepat, akan ada gejolak. Jadi yang harus dilakukan, kalau mau menarik pinjaman, pinjamannya jangka panjang saja," tambah Chatib.

Rully memprediksi, kenaikan suku bunga The Fed berkisar 15-25 bps. Dengan level kenaikan itu, efek ke rupiah tidak terlalu besar.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee serta analis Recapital Securities Liga Maradona sepakat, jika The Fed mengerek bunga, maka pasar saham Indonesia akan goyang.

"Tapi tidak signifikan, karena pasar sudah antisipasi," ungkap Hans. Setidaknya, kata dia, IHSG bisa terkoreksi ke level 5.200.

Satrio meyakini IHSG tidak turun tajam, masih di kisaran 5.250 hingga 5.300-an. “Kecil kemungkinan The Fed mengerek bunga sebelum Pemilu November. Kemungkinan Desember baru naik,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie