Waspadai aliansi anti batubara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah bertahan di atas US$ 90 per metrik ton lebih dari dua bulan, harga batubara mulai tergelincir. Jumat (17/11) lalu, harga barubara kontrak pengiriman Desember di ICE Futures melorot 1,62% jadi US$ 90,85 per metrik ton. Sepekan terakhir, harga si hitam sudah tergerus sekitar 5,76%.

Harga batubara mendapat sentimen negatif dari kabar bergabungnya 15 negara dalam aliansi internasional anti batubara, bertajuk Powering Past Coal Alliance. Aliansi ini terbentuk di perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan tujuan menghapus penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik sebelum tahun 2030.

Ke 15 negara tersebut antara lain adalah Inggris, Kanada, Denmark, Finlandia, Italia, Prancis, Belanda, Portugal, Belgia, Swiss, Selandia Baru, dan Meksiko. Aliansi tersebut menargetkan, sebanyak 50 negara lain akan bergabung sebelum pertemuan puncak konfrensi iklim PBB tahun 2018 di Katowice, Polandia.


Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, aliansi tersebut bakal membuat permintaan batubara di Eropa berkurang. Maklum saja, mayoritas negara yang bergabung dalam aliansi tersebut berasal dari kawasan Benua Biru.

Meski begitu, negara besar yang banyak mengonsumsi batubara, seperti China, Amerika Serikat, Rusia dan Jerman, enggan bergabung. "Memang akan berkurang permintaannya tapi tidak signifikan," kata Deddy, Senin (20/11).

Jadi, harga batubara masih bisa menguat. Apalagi rencana AS meningkatkan penggunaan batubara semakin jelas sejak Presiden Donald Trump keluar dari Perjanjian Iklim Paris 2015.

Karena itu, Deddy masih optimistis di akhir tahun harga batubara bisa kembali menanjak dan menembus US$ 100 per metrik ton.

Pidato bank sentral

Direktur Garuda Berjangka Ibrahim memaparkan, rilis data ekonomi dari AS maupun China serta Eropa masih akan mempengaruhi harga batubara ke depan. Jika data ekonomi negara-negara tersebut buruk, harga batubara berpotensi kembali koreksi.

Pekan ini, pelaku pasar akan mencermati pidato Gubernur European Central Bank (ECB) Mario Draghi pada Senin (20/11) malam dan pidato Gubernur The Fed Janet Yellen di Selasa (21/11) malam. Bila keduanya memberi pernyataan dovish, maka dollar AS bisa terkoreksi.

Alhasil, harga komoditas yang diperdagangkan dalam dollar AS berpotensi rebound. "Tapi pada Selasa dan Rabu ini harga batubara masih berpotensi kembali jatuh dan mencapai harga terendah di US$ 87 per ton sebelum kembali naik," jelas Ibrahim.

Sementara Deddy memprediksi harga si hitam batubara bergerak di rentang US$ 87,90-US$ 94 per metrik ton dalam sepekan ke depan.

Tapi, kenaikan permintaan dari China dan AS diprediksi masih mengerek harga batubara. Dus, harga akan tembus US$ 103 per metrik ton pada 2018 mendatang.

Secara teknikal Deddy melihat, harga barubara berada di atas moving average (MA) 50, MA 100 dan MA 200, yang menunjukkan tren penurunan jangka pendek. Indikator moving average convergence divergence (MACD) ada di area negatif. Sementara indikator relative strength index (RSI) di area 25 berpeluang melemah dan dengan stochastic masuk area oversold dengan potensi rebound tipis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati