Waspadai gagal bayar obligasi



JAKARTA. Reksadana boleh jadi dikelompokkan sebagai instrumen investasi dengan risiko yang lebih moderat daripada saham. Namun, layaknya instrumen investasi, reksadana tidak terbebas dari risiko kerugian.

Tak terkecuali produk reksadana beraset dasar obligasi yang diklaim berisiko lebih rendah daripada reksadana saham. Investor tetap perlu mencermati perkembangan portofolionya agar risiko kerugian bisa minimal.

Kasus sejumlah obligasi yang gagal bayar kupon bisa menjadi pelajaran bagi investor reksadana maupun manajer investasi (MI). Tercatat, baru-baru ini ada beberapa obligasi yang default.


Contoh obligasi semacam itu adalah obligasi PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) dan PT Davomas Abadi Tbk (DAVO). BLTA menyatakan tidak mampu membayar kupon utang enam seri obligasinya, Februari lalu. Adapun DAVO seharusnya membayar kupon obligasi 7 Maret lalu.

Abiprayadi Riyanto, Direktur Utama Mandiri Manajemen Investasi, menuturkan, kasus gagal bayar ini sedikit banyak memengaruhi dana kelolaan reksadana industri.

"Memang ada yang redemption di reksadana pendapatan tetap, mungkin karena ada pengaruh kasus default ini sehingga investor khawatir," kata dia, pekan lalu.

Mengutip data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), per 29 Februari 2012, total dana kelolaan reksadana fixed income industri mencapai Rp 39,06 triliun. Namun, sehari kemudian (1/3), nilai itu anjlok tinggal Rp 31,39 triliun.

Penurunan ini berlanjut hingga posisi terakhir Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana fixed income industri tinggal Rp 31,09 triliun (8/8). Memang, obligasi default bukan satu-satunya faktor anjloknya dana kelolaan itu. Muramnya pasar obligasi beberapa pekan ini kemungkinan besar juga menjadi penyebabnya.

Kurang transparan

Adakah aset MI yang tersangkut di obligasi default tersebut? Sejauh ini belum ada MI yang berterus terang. “Beruntung di tempat kami tidak ada (yang tersangkut), jangan sampai," tegas Agus Salim, Direktur CIMB Principal Asset Management.

Agus mengaku selalu selektif dan berhati-hati memilih aset dasar reksadana yang dikelola. "Kami memeriksa good corporate governance yang dimiliki emiten dan rekam jejaknya. Kami sendiri memilih obligasi korporasi berperingkat di atas A," ujar dia.

Agus tidak yakin kasus default obligasi merupakan penyebab utama penurunan dana kelolaan reksadana fixed income. "Kasus emiten wanprestasi sangat kecil dibandingkan keseluruhan obligasi korporasi yang ada, saat ini," tutur dia.

Meski begitu, MI perlu menyiapkan strategi khusus jika terlanjur terjebak di obligasi berkualitas buruk tersebut. "Jual obligasi tersebut ke pasar dengan harga diskon, atau memilih ikut restrukturisasi hingga rampung jika prospek emiten memang masih menjanjikan," ujar Agus. Abiprayadi menimpali, agar terhindar dari kasus gagal bayar obligasi, Mandiri Manajemen Investasi cenderung memilih obligasi korporasi pelat merah.

Kendati MI menegaskan kehati-hatiannya dalam mengelola aset reksadana, investor ada baiknya tetap proaktif memantau investasinya.

Parto Kawito, Direktur Infovesta Utama, menuturkan, investor reksadana saat ini terbilang sulit mengetahui aset dasar reksadana. Investor dituntut jeli dan aktif menanyakan kepada MI. "Namun, langkah itu susah karena banyak manajer investasi yang tidak transparan," tutur dia.

Selain itu, dalam fund fact sheet laporan bulanan reksadana, MI tidak menjelaskan secara rinci penempatan portofolio reksadana. Umumnya, MI hanya menyebutkan sektor usaha emiten saja tanpa menyebut secara gamblang aset dasarnya. "Dus, investor tidak tahu dananya diputar di perusahaan apa. Padahal hal itu penting," tuturnya.

Mengetahui latar belakang dan rekam jejak MI adalah prinsip utama berinvestasi reksadana. "Jika terlanjur nyangkut, dan kinerja MI memang jelek, lebih baik melakukan cutloss dan pindah ke MI lain," tutur dia.

Rudiyanto, Pengamat Reksadana, menilai, investor tidak perlu risau menghadapi kasus default. Ia mengingatkan, MI terikat aturan hanya bisa memutar maksimal 10% dari portofolionya di satu obligasi. "Kalau sudah terlanjur, setidaknya hanya rugi 10% saja, karena di reksadana risiko lebih tersebar," jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie