JAKARTA. Jelang pelaksanaan Pemilu 2014, publik diharapkan dapat mewaspadai peredaran uang palsu yang kerap terjadi di masyarakat. Politik uang yang biasanya dihalalkan oleh para peserta pemilu menjadi salah satu pintu masuk beredarnya uang palsu tersebut di masyarakat. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, mengatakan, praktik politik uang menjelang pemilu sebetulnya bukanlah hal yang baru. Bak gayung bersambut, peserta pemilu memanfaatkan tingginya kebutuhan uang di masyarakat. Namun, di sisi lain, mereka juga memerlukan dukungan pemilih agar dapat memperoleh suara sesuai yang ditargetkan. "Karena antara supply and demand berada dalam satu pola yang sama. Di level pemilih, politik uang bukanlah suatu hal yang melanggar undang-undang," kata Abdullah seusai diskusi bertajuk Menyoal Dana Kampanye Partai dan Caleg di Sekretariat ICW, Jakarta, Senin (30/12/2013). Ia menambahkan, cara praktis yang kerap dilakukan peserta pemilu untuk mendulang suara merupakan sebuah cara yang salah, apalagi jika mereka dengan sengaja menggunakan uang palsu untuk membeli suara masyarakat. Itu tidak hanya melanggar UU Pemilu, tetapi juga melanggar ketentuan pidana. Sementara itu, terlepas dari peredaran uang palsu, meningkatnya peredaran uang dapat memicu angka inflasi yang tinggi di masyarakat. Untuk itu, jajaran stakeholder, mulai dari Bank Indonesia hingga Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), diharapkan dapat mampu memantau peredaran uang karena kedua institusi itulah yang memiliki tugas menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, ia mengatakan, netralitas kedua lembaga tersebut juga diperlukan. Menurutnya, sebagai lembaga negara, mereka memiliki andil yang besar dalam mengatur peredaran uang. "Karena Peruri ini berada di bawah kendali partai penguasa, saya kira penting juga dalam menjaga netralitas dan kemudian tidak menjadi alat kekuasaan dalam kontestasi pemilu," ujarnya. (Dani Prabowo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News