KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Kesehatan Dunia (WHO) resmi mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau status kedaruratan Covid-19 pada Jumat (5/5). Dengan keputusan WHO tersebut, Ahli Kesehatan Lingkungan dan Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menuturkan, dengan demikian Indonesia dapat juga menyusul untuk melakukan pencabutan status kedaruratan Covid-19 secara nasional. "Artinya konsekuensi dari pencabutan ini artinya Indonesia bisa mencabut kedaruratan dari Covid itu di tingkat nasional," kata Dicky, Minggu (7/5).
Namun, Dicky mengingatkan, dengan status kedaruratan dicabut oleh WHO maka pemerintah Indonesia harus menyampaikan kepada masyarakat bukan artinya virus Covid-19 sudah tidak ada. Perlu diingatkan bahwa ancaman Covid-19 masih ada dan nyata. Terutama ancaman dampak Covid-19 jangka menengah hingga jangka panjang (long covid). "Sekali lagi bukan menandakan bahwa tidak ada ancaman covid. Covid ini ada nyata dan bahkan cenderung bisa lebih serius lagi, ada potensi jangka menengah dan panjang. Selain pada fase jangka pendek, tetep dia bisa berdampak pada kelompok rawan lansia, komorbid ataupun anak-anak atau yang belum eligible untuk vaksinasi. Nah itu dampaknya bisa bentuk keparahan ataupun kematian dan itu harus disadari," jelasnya.
Baca Juga: Status Darurat Global Covid-19 Dicabut, Kemenkes Ingatkan Peluang Merebak Masih Ada Dampak atau ancaman Covid-19 tersebut masih bisa terjadi saat mitigasi lemah. Di mana protokol kesehatan tidak diterapkan dengan baik di masyarakat. Maka meski status kedaruratan dicabut WHO, protokol kesehatan harus tetap dilaksanakan. Dan hal tersebut yang penting untuk pemerintah sampaikan kepada masyarakat. "Pencabutan ini tidak artinya menghilangkan dampak langsung atau tidak langsung dari Covid-19 itu sendiri dan untuk beberapa tahun sebagai masa transisi," ujarnya. Meski demikian status kedaruratan dan pandemi ditegaskan Dicky merupakan hal yang berbeda. Pencabutan status kedaruratan menurutnya tidak berarti pandemi telah selesai. Pasalnya pandemi merupakan situasi epidemiologi. "Yang dicabut ini otoritas yang dimiliki oleh Dirjen WHO, mencabut status PHEIC, tidak berkaitan langsung dengan pandemi. Kalau pandemi lebih ke situasi epidemiologi," ujarnya. Adapun Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah usai adanya pencabutan status kedaruratan Covid-19. Pertama, Dicky menyebut, Pemerintah Indonesia harus melakukan refleksi dan introspeksi dari apa yang sudah dipelajari dan diperbaiki dalam penanganan Covid-19. Refleksi dan introspeksi perlu dilakukan utamanya pada sistem kesehatan. Di antaranya, bagaimana kemampuan dalam mendeteksi penyakit yang berpotensi wabah yang menyebar secara cepat. Kemudian bagaimana kemampuan merespon dari penyakit yang berpotensi wabah tersebut. Dan bagaimana mencegah penyakit berpotensi wabah tersebut terjadi lagi. "Ini tiga siklus yang masih menjadi PR kita (Indonesia). Nah dari situ ada banyak aspek yang kita perbaiki," ungkap Dicky. Ia menceritakan, pada Januari 2023 lalu Ia bersama tim memberikan masukan terhadap situasi kedaruratan Covid-19 secara global. Di mana perkembangan situasi Covid-19 membaik dan April lalu status PHEIC bisa dilakukan pencabutan.
Baca Juga: WHO Cabut Status Darurat Covid-19, Tapi Tetap Jadi Ancaman Kesehatan Global Hanya saja Dicky menceritakan, kemudian para expert menilai bahwa status kedaruratan masih diperlukan untuk menjaga supaya respon global terhadap penanganan Covid-19 terjaga, khususnya dalam vaksinasi. "Supaya respon global masih terjaga, khususnya bagian vaksinasi yang masih terjadi kejomplangan. Dan dia masih punya efek psikologis status kedaruratan bahwa kita masih waspada baik pemerintahnya maupun masyarakat," jelasnya. Namun, Dicky menjelaskan, pencabutan status kedaruratan menjadi kewenangan WHO. Dimana dalam mengambil keputusan tersebut WHO tidak hanya mengambil masukan dari sisi pandangan epidemiologi. Pencabutan status kedaruratan juga melihat banyak faktor.
Faktor yang dilihat WHO dalam mencabut status kedaruratan Dicky menuturkan sangat komplek. Mulai dari faktor politis hingga strategis. Dari sisi politis misalnya negara yang berpengaruh besar seperti Amerika sudah kuat kecenderungannya mencabut kedaruratan di negaranya. Hal tersebut secara politis jika PHEIC tetap diterapkan maka akan mengurangi marwah dari kedaruratan itu sendiri di tengah negara berkuasa telah mencabutnya di negara mereka. "Negara besar mencabut dan jika ini tetap diterapkan ya jadi tidak elok, bahkan mengurangi marwah status PHEIC. Jadi akhirnya meskipun tidak tepat banget tapi tidak terlalu salah juga bahwa PHEIC dicabut dengan berbagai pertimbangan," terang Dicky. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari