WHO: Herd immunity bermasalah secara ilmiah dan tidak etis untuk melawan corona



KONTAN.CO.ID - JENEWA. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut cara melawan penyebaran virus corona dengan kekebalan kelompok atau herd immunity bermasalah secara ilmiah dan tidak etis dilakukan.

Berbicara dalam jumpa pers, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, herd immunity merupakan konsep yang digunakan untuk vaksinasi, di mana suatu populasi dapat dilindungi dari virus tertentu jika ambang batas vaksinasi tercapai.

Misalnya, kekebalan kelompok terhadap campak mengharuskan sekitar 95% dari populasi untuk divaksinasi. Sebanyak 5% sisanya akan dilindungi oleh fakta bahwa campak tidak akan menyebar di antara mereka yang divaksinasi. Untuk polio, ambangnya sekitar 80%.


"Herd immunity dicapai dengan melindungi orang dari virus, bukan dengan membuat mereka terpapar virus. Itu tidak pernah digunakan sebagai strategi untuk menanggapi wabah," kata Tedros seperti dikutip Xinhua, Selasa (13/10).

Baca Juga: WHO serukan 4 prioritas hadapi lonjakan corona, vaksin tidak termasuk!

Mengenai pandemi corona (Covid-19) yang sedang berlangsung, dia mencatat, dunia masih belum cukup mengetahui tentang kekebalan terhadap virus corona, termasuk seberapa kuat atau tahan lama respons kekebalan itu, apalagi beberapa contoh orang terinfeksi untuk kedua kalinya. "Kami punya beberapa petunjuk, tapi belum gambaran lengkapnya," ujarnya.

Selain itu, sebagian besar orang di sebagian besar negara tetap rentan terhadap penularan virus corona ini, yang berarti bahwa membiarkan virus bersirkulasi tanpa terkendali dapat menyebabkan infeksi, penderitaan, dan kematian yang tidak perlu.

Tedros mengatakan, dunia baru mulai memahami dampak kesehatan jangka panjang pada penderita corona. Dan itu "tidak etis" untuk membiarkan virus berbahaya yang tidak sepenuhnya dipahami untuk bebas.

Alih-alih herd immunity, Tedros mendesak negara-negara untuk tetap berpegang pada langkah-langkah yang telah diterapkan dan terbukti efektif untuk mengendalikan penularan dan menyelamatkan nyawa, seperti mencegah penyebaran, melindungi yang rentan, serta memberdayakan, mendidik dan melibatkan komunitas, selain menemukan , mengisolasi, menguji dan merawat kasus, serta melacak dan mengkarantina kontaknya.

"Tidak ada jalan pintas dan tidak ada peluru perak. Jawabannya adalah pendekatan yang komprehensif, dengan menggunakan setiap alat di kotak peralatan," ujarnya.

Saat dunia sedang berjuang untuk mengendalikan pandemi corona, negara-negara di seluruh dunia seperti negara-negara Uni Eropa, China, Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat, berlomba untuk menemukan vaksin corona.

Menurut situs web WHO, per 2 Oktober, ada 193 calon vaksin corona yang sedang dikembangkan di seluruh dunia, dan 42 di antaranya sedang dalam uji klinis.

Selanjutnya: 30 juta vaksin corona tiba di Indonesia pada akhir tahun 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat