Wignyo beralih ke benang sutra dari China (3)



Lantaran sulit mencari bahan baku berkualitas di pasar dalam negeri, Wignyo Rahardi mulai mencari bahan baku serupa di pasar luar negeri. Ia mengimpor benang sutra dari China. Bahkan, hampir 70% bahan baku benang sutra tenun Wignyo berasal dari China. Hanya 30% yang produksi lokal.

Berbeda dengan benang impor, pada produksi benang lokal Wignyo Rahardi sering mendapati ketebalan benang yang tak seragam. Ia pun memanfaatkan benang itu untuk memberi aksen pada kain tenun.

Namun, tetap saja, pasokan benang lokal tak bisa memenuhi kebutuhan produksi Tenun Gaya. Selain itu, kualitas benang lokal masih kalah jauh dengan benang sutra impor. Pasalnya, petani murbei di Indonesia tak konsisten.


Ketika harga komoditas lain, seperti cabai dan tomat membumbung, mereka membabat habis murbei dan menanami lahannya dengan kedua tanaman itu. "Nanti, kalau harga cabai turun, dia kembali menanam murbei," ujarnya. Wignyo pun harus menunggu hingga musim tanam cabai selesai atau tiga bulan untuk mendapatkan bahan baku.

Tidak heran, untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku benang sutra, Wignyo mulai mencari alternatif pasokan yang lain. Karena itu, kini, Wignyo lebih mengandalkan benang sutra asal China. "Mulai bulan ini dan yang akan datang, kami sudah menggunakan 100% benang sutra asal China," ujarnya.

Maklum, beberapa waktu lalu, ketika harga cabai melonjak, para petani kembali meninggalkan murbei. Para petani itu lebih memilih menanam cabai karena perawatan lebih mudah dan tidak membutuhkan kondisi yang tenang seperti murbei.

Selain itu, harga cabai bisa mencapai Rp 50.000 per kilogram. Harga kepompong ulat sutra stabil di kisaran

Rp 25.000 per kilogram. "Kalau kita menaikkan harga bahan baku, harga benangnya pasti kalah dengan harga benang sutra dari China," kata Wignyo.

Wignyo menyatakan, banyak petani yang menjadikan agribisnis murbei sebagai sambilan saja. Karena tidak terlalu diperhatikan, hasil panen kerja sambilan ini kurang maksimal. "Kalau biasanya 10 kg kepompong jadi 1 kg benang, perlu sekitar 13 kg hingga 15 kg kepompong untuk membuat 1 kg benang," imbuhnya.

Sementara itu, untuk menghasilkan bahan baku sendiri dengan mendirikan perkebunan murbei hingga perternakan ulat sutra sangat sulit. "Bagi saya pribadi, risikonya terlalu besar," imbuh Wignyo. Kecuali ada satu perusahaan yang berani menginvestasikan duitnya pada usaha produksi benang sutra itu.

Untuk menjamin pasokan bahan baku, penanaman murbei minimal dilakukan di lahan seluas 1.000 hektare. Selain itu, mereka juga mengangkat petani sebagai karyawan.

Dari ratusan petani di sekitar tahun 2003, saat ini, pemasok bahan baku ke Tenun Gaya hanya sekitar 14-15 petani. Sebagian yang lain sudah mengalihkan lahan ke tanaman lain.

Selain mengimpor bahan baku dari China, Wignyo juga mendatangkan bahan baku untuk tenunannya dari India. Namun, ia tidak mendatangkan sutra dari sana. Dari India, Wignyo mengimpor benang katun, seperti untuk bahan spansilk, campuran antara katun dan sutra.

Wignyo biasanya mendatangkan bahan baku terebut, dua hingga tiga bulan sekali. Sekali pemesanan bisa mencapai 1 ton-2 ton benang sutra.

Setiap bulan, Wignyo biasanya menghabiskan bahan baku benang sutra sekitar 500 kg. Seluruh bahan baku ini, dipakainya untuk membuat kain dan baju siap pakai.

Dengan kapasitas produksi sebesar itu, Tenun Gaya mengoperasikan 80 alat tenun yang ada di Sukabumi. Dari total alat tenun tersebut yang aktif beroperasi ada 60 unit. Sisa 20 unit lagi baru akan dipakai kalau ada pesanan dalam jumlah banyak dengan waktu yang mendesak.

Biasanya, pemesanan 100 meter kain tenun bisa dikerjakan dalam waktu dua pekan. Satu orang penenun akan menghasilkan satu hingga 1,5 meter kain setiap hari.

Harga jual selembar kain Tenun Gaya mulai dari Rp 85.000 untuk span silk hingga Rp 400.000 untuk kain sutra. Selain kain, Wignyo juga menyediakan baju siap pakai di butiknya. Harga baju jadi itu mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 4 juta. "Tapi sekarang kami lebih banyak melayani pesanan," katanya.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi