Memproduksi pakaian berdasarkan pesanan tak semudah membuat pakaian siap jadi, yang langsung bisa dijual ke konsumen dengan berbagai ukuran. Namun, Wignyo Rahadi bisa memenuhi semua permintaan itu. Di ruang pamer busananya di Cipete, Jakarta Selatan, dia menyediakan bahan hingga penjahitan baju tenun. Sejak menjelang bulan puasa hingga Ramadan tiba, ruang pamer (showroom) busana milik Wignyo Rahadi di bilangan Cipete Raya, Jakarta Selatan, terus dibanjiri para pelanggan. Terutama kaum ibu-ibu. Yang menarik, di showroom itu, pelanggan bukan hanya bisa memilih kain yang akan digunakan sebagai bahan pakaian. Mereka juga dapat memesan desain dan membuat busana sekaligus di tempat tersebut. Biasanya, pelanggan memesan baju untuk kebutuhan acara resmi keluarga atau perusahaan. Lantaran banyaknya pesanan menjelang Lebaran, Wignyo harus menutup order pesanan. "Sejak awal bulan Ramadan, kami sudah tidak menerima pesanan pembuatan lagi karena sudah penuh," kata lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 18 Mei 1960.Maklum, tak mudah membuat pakaian sesuai dengan pesanan. Kesulitannya mulai dari ukuran, hingga warna baju yang diinginkan pelanggan. Selain itu, proses pembuatan kain hingga penjahitan juga memakan waktu dua bulan. Untuk menjahit pesanan ini, Wignyo memiliki tenaga penjahit empat orang. Tenaga dan waktu untuk pembuatan pakaian pesanan ini terbatas. "Makanya, saat ini kami belum bisa menerima pesanan lagi," katanya. Asal tahu saja, pelanggan Wignyo tidak hanya masyarakat umum. Pejabat negara juga jadi pelanggannya. Di tahun 2006, misalnya, Wignyo pernah membuat seragam tenun untuk keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, pesanan datang dari para pejabat sebagai bingkisan kunjungannya ke luar negeri. Petinggi sejumlah perusahaan di tanah air juga pernah memesan seragam ke showroom Wignyo. "Ada pula bank yang memesan untuk acara pertemuan regional mereka," imbuh dia.Melihat busana buatannya digemari pasar, pada 2003 Wignyo mulai memberanikan diri menjajaki pasar luar negeri. Negara yang pertama kali dia rambah adalah Jepang. Hingga kini, ia masih memasok kain tenun ke sana. "Pengiriman dilakukan dua bulan sekali," katanya. Di Malaysia dan Singapura, Wignyo juga sudah memiliki pelanggan tetap yang membeli busana dari kain tenun buatannya secara kontinyu. Busana khas Tenun Gaya juga sudah mulai masuk ke kawasan Asia lainnya. Meski sudah merambah pasar luar negeri, pasar terbesar Tenun Gaya masih di dalam negeri. "Sekitar 50% penjualan dari Jakarta," imbuh Wignyo.Untuk memperluas basis produksinya, bapak dua anak ini sudah membuka satu showroom pakaian jadi di Surabaya, Jawa Timur. Di Medan, Sumatra Utara, dia juga bekerja sama dengan pelanggannya yang telah memiliki butik. Dus, Wignyo tinggal memasok produk tenunnya ke Medan.Dengan harga jual tenun yang terbilang tak murah, Wignyo bisa meraup omzet ratusan juta rupiah sebulan. Sayang, dia enggan berbagi angka persis pendapatan Tenun Gaya setiap bulannya. Yang pasti, omzet yang dia dapatkan cukup untuk membayar sekitar 150 orang karyawannya dan membeli bahan baku. Termasuk, menjalankan operasional workshop di Sukabumi, Jawa Barat, dan membiayai promosi berupa pameran serta fashion show.Bukan hanya lembaran fulus yang dilipat Wignyo dari bisnis tenun ini. Produk Tenun Gaya juga berhasil meraih berbagai penghargaan. Di antaranya, penghargaan Prima Produk Niaga untuk Produk Usaha/Industri Kecil dan Menengah Potensi Ekspor dari Departemen Perdagangan pada Inacraft 2007.Tenun Gaya juga meraih penghargaan Kreasi Busana Tenun kategori Daya Jual Terbaik di ajang Gelar Tenun Tradisional Indonesia 2007. Lalu, Penghargaan Kreasi Kriya Terbaik kategori Tekstil di ajang Gelar Produk Kerajinan Indonesia 2009.Kesuksesan dalam menyabet penghargaan itu membuat Wignyo semakin aktif menyosialisasikan tenun dan memberi pelatihan kepada para penenun di banyak daerah. Di antaranya, memberikan pelatihan tenun di Pekanbaru- Riau, Badui- Jawa Barat, dan di Nusa Tenggara Timur.(Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Wignyo memperluas jaringan ke pasar ekspor (4)
Memproduksi pakaian berdasarkan pesanan tak semudah membuat pakaian siap jadi, yang langsung bisa dijual ke konsumen dengan berbagai ukuran. Namun, Wignyo Rahadi bisa memenuhi semua permintaan itu. Di ruang pamer busananya di Cipete, Jakarta Selatan, dia menyediakan bahan hingga penjahitan baju tenun. Sejak menjelang bulan puasa hingga Ramadan tiba, ruang pamer (showroom) busana milik Wignyo Rahadi di bilangan Cipete Raya, Jakarta Selatan, terus dibanjiri para pelanggan. Terutama kaum ibu-ibu. Yang menarik, di showroom itu, pelanggan bukan hanya bisa memilih kain yang akan digunakan sebagai bahan pakaian. Mereka juga dapat memesan desain dan membuat busana sekaligus di tempat tersebut. Biasanya, pelanggan memesan baju untuk kebutuhan acara resmi keluarga atau perusahaan. Lantaran banyaknya pesanan menjelang Lebaran, Wignyo harus menutup order pesanan. "Sejak awal bulan Ramadan, kami sudah tidak menerima pesanan pembuatan lagi karena sudah penuh," kata lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 18 Mei 1960.Maklum, tak mudah membuat pakaian sesuai dengan pesanan. Kesulitannya mulai dari ukuran, hingga warna baju yang diinginkan pelanggan. Selain itu, proses pembuatan kain hingga penjahitan juga memakan waktu dua bulan. Untuk menjahit pesanan ini, Wignyo memiliki tenaga penjahit empat orang. Tenaga dan waktu untuk pembuatan pakaian pesanan ini terbatas. "Makanya, saat ini kami belum bisa menerima pesanan lagi," katanya. Asal tahu saja, pelanggan Wignyo tidak hanya masyarakat umum. Pejabat negara juga jadi pelanggannya. Di tahun 2006, misalnya, Wignyo pernah membuat seragam tenun untuk keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, pesanan datang dari para pejabat sebagai bingkisan kunjungannya ke luar negeri. Petinggi sejumlah perusahaan di tanah air juga pernah memesan seragam ke showroom Wignyo. "Ada pula bank yang memesan untuk acara pertemuan regional mereka," imbuh dia.Melihat busana buatannya digemari pasar, pada 2003 Wignyo mulai memberanikan diri menjajaki pasar luar negeri. Negara yang pertama kali dia rambah adalah Jepang. Hingga kini, ia masih memasok kain tenun ke sana. "Pengiriman dilakukan dua bulan sekali," katanya. Di Malaysia dan Singapura, Wignyo juga sudah memiliki pelanggan tetap yang membeli busana dari kain tenun buatannya secara kontinyu. Busana khas Tenun Gaya juga sudah mulai masuk ke kawasan Asia lainnya. Meski sudah merambah pasar luar negeri, pasar terbesar Tenun Gaya masih di dalam negeri. "Sekitar 50% penjualan dari Jakarta," imbuh Wignyo.Untuk memperluas basis produksinya, bapak dua anak ini sudah membuka satu showroom pakaian jadi di Surabaya, Jawa Timur. Di Medan, Sumatra Utara, dia juga bekerja sama dengan pelanggannya yang telah memiliki butik. Dus, Wignyo tinggal memasok produk tenunnya ke Medan.Dengan harga jual tenun yang terbilang tak murah, Wignyo bisa meraup omzet ratusan juta rupiah sebulan. Sayang, dia enggan berbagi angka persis pendapatan Tenun Gaya setiap bulannya. Yang pasti, omzet yang dia dapatkan cukup untuk membayar sekitar 150 orang karyawannya dan membeli bahan baku. Termasuk, menjalankan operasional workshop di Sukabumi, Jawa Barat, dan membiayai promosi berupa pameran serta fashion show.Bukan hanya lembaran fulus yang dilipat Wignyo dari bisnis tenun ini. Produk Tenun Gaya juga berhasil meraih berbagai penghargaan. Di antaranya, penghargaan Prima Produk Niaga untuk Produk Usaha/Industri Kecil dan Menengah Potensi Ekspor dari Departemen Perdagangan pada Inacraft 2007.Tenun Gaya juga meraih penghargaan Kreasi Busana Tenun kategori Daya Jual Terbaik di ajang Gelar Tenun Tradisional Indonesia 2007. Lalu, Penghargaan Kreasi Kriya Terbaik kategori Tekstil di ajang Gelar Produk Kerajinan Indonesia 2009.Kesuksesan dalam menyabet penghargaan itu membuat Wignyo semakin aktif menyosialisasikan tenun dan memberi pelatihan kepada para penenun di banyak daerah. Di antaranya, memberikan pelatihan tenun di Pekanbaru- Riau, Badui- Jawa Barat, dan di Nusa Tenggara Timur.(Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News