Window dressing bisa mengerek IHSG ke area positif secara tahunan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tanda-tanda terulangnya resesi Amerika Serikat (AS) semakin terlihat. Kurva imbal hasil (yield curve) obligasi jangka panjang maupun pendek telah berbalik arah atau dalam kondisi inverted yield sejak awal pekan lalu. Tentu kondisi tersebut membuat pelaku pasar menjadi ketar-ketir.

Asal tahu saja, selama ini resesi ekonomi yang terjadi di negeri Paman Sam selalu diawali oleh fenomena inverted yield curve karena jatuhnya permintaan obligasi bertenor pendek yang menghantui perekonomian.

Selain itu, pertanda lain yang muncul adalah menipisnya yield spread antara obligasi 10 dan dua tahun menjadi 0,11%. Tidak menutup kemungkinan salah satu indikator resesi itu akan jatuh dalam ke zona negatif dalam waktu dekat.


Kondisi tersebut tentu mendorong pelaku pasar untuk meninggalkan instrumen investasi dengan risiko tinggi seperti saham. Tiga indeks utama Wall Street anjlok pada penutupan perdagangan pekan lalu. Rinciannya antara lain, Dow Jones Index 2,24%, S&P 500 2,23%, dan Nasdaq 3,05%.

Sejumlah indeks di bursa saham utama dunia pun demikian, mengalami pelemahan walaupun tidak separah tiga indeks utama AS. Lalu bagaimana nasib Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)?

Pelaku pasar tentu mengkhawatirkan indeks saham Garuda yang di akhir tahun ini mungkin saja bernasib buruk seperti tiga indeks utama AS. Peluang jatuhnya perekonomian negara adidaya ini mendorong investor enggan untuk mengambil risiko. Mereka tentu lebih memilih untuk menyedot asetnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan mengalihkannya ke aset-aset yang minim risiko atau safe haven.

Mengacu pada data RTI, sejauh ini mulai terlihat kecenderungan aksi jual bersih (net sell) saham-saham di IHSG oleh investor asing. Tercatat pada akhir perdagangan pekan lalu asing telah membukukan net sell sebesar Rp 693 miliar di pasar regular.

Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai, pelaku pasar dalam negeri tak perlu risau dengan sentimen eksternal terkait resesi AS. IHSG diproyeksi masih tetap berada di zona hijau hingga akhir tahun ini. Menilik beberapa tahun ke belakang IHSG cenderung mengalami penguatan di akhir tahun walaupun sentimen negatif terkait AS seperti kebijakan the Federal Reserve (The Fed), plafon utang (debt ceiling), dan Kongres ikut menghantui.

“Sekarang level IHSG di angka 6.126, dengan asumsi adanya window dressing kemungkinan berada di level 6.225,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id, Minggu (9/12).

Seperti biasanya di menjelang akhir tahun sejumlah emiten atau manajer investasi berlomba melakukan aksi window dressing untuk mempercantik tampilan portofolio/performa laporan keuangannya.

Menurut Reza, di bulan November ke Desember tahun lalu, IHSG menguat 6,78%. “Jika asumsinya bertumbuh sama seharusnya ada di angka 6.466-6.468, tinggal dilihat saja apakah ada sentimen yang bisa bantu IHSG menuju level tersebut,” kata dia.

Jika indeks bisa menyentuh level 6.466-6.468, maka IHSG akan tumbuh 1,74% secara tahunan dibandingkan akhir tahun 2017. Lalu untuk awal tahun 2019, Reza memproyeksi akan ada penguatan walau hanya sementara. “Melihat tahun lalu Desember 2017 ke Januari 2018 ada kenaikan 3,93% asumsinya ya sama untuk tahun ini,”ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati