Wiraswasta, profesi idaman masa kini



JAKARTA. "Susan, Susan, Susan, besok gede mau jadi apa. Aku kepingin pinter, biar jadi dokter." Itulah bait pertama lagu "Cita-citaku" yang dinyanyikan Ria Enes dan boneka Susan pada tahun 1993. Selain dokter, Susan juga bercita-cita menjadi insinyur, konglomerat, dan presiden. 

Dua tahun kemudian, mirip dengan Susan, tokoh Si Doel dalam sinetron "Si Doel Anak Sekolahan" digambarkan juga bercita-cita menjadi (tukang) insinyur untuk mengangkat derajat keluarga. Lagu anak-anak dan sinetron populer ini menggambarkan profesi-profesi yang dinilai bergengsi pada zamannya.

Puluhan tahun kemudian, profesi atau pekerjaan yang dianggap membanggakan dan menghasilkan uang banyak pun berganti seiring kondisi masyarakat terkini. Dokter dan insinyur kini mendapat "pesaing" dari jenis pekerjaan wiraswasta sebagai pekerjaan yang paling berpotensi mendatangkan penghasilan tinggi.

Hal tersebut tergambar dari pengumpulan opini publik yang diselenggarakan Kompas dua pekan lalu. Mayoritas responden, sekitar 80%, memang masih memilih lima pekerjaan "teknokrat dan birokrat"- dokter, guru, birokrat (pegawai negeri sipil), dan arsitek, sebagai pekerjaan membanggakan.

Namun, pamor pekerjaan mandiri berwiraswasta terlihat menyolok dengan anggapan sebagai pekerjaan paling membanggakan oleh seperempat bagian publik. Tak hanya itu, pamor pekerjaan sebagai dokter yang secara lisan di masyarakat dianggap menjadi "jalan" untuk hidup makmur (kaya), kini tergeser oleh wirausaha/wiraswasta yang dianggap bisa lebih banyak menghasilkan uang.

Proporsi wirausaha

Munculnya wiraswasta di peringkat teratas pilihan publik melahirkan optimisme. Wiraswasta atau wirausaha menjadi ujung tombak pemerataan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menunjukkan, jumlah wirausahawan di Indonesia sangat kecil, sekitar 1,65%.

Kondisi ini kontras dengan sejumlah negara tetangga. Di Singapura, jumlah wiraswasta mencapai 7%, sedangkan di Malaysia sebanyak 5%. Di Thailand, angka wiraswastawan menyentuh angka 4%.

Jajak pendapat ini juga menemukan bahwa mayoritas publik yang memilih berwiraswasta adalah anak muda dan kelompok usia produktif, berusia 45 tahun ke bawah. Alasan pendapatan besar dan kebanggaan bekerja mandiri menjadi alasan kelompok ini.

Selain wiraswasta, profesi dokter juga masih dinilai sebagai profesi yang membanggakan sekaligus menghasilkan uang banyak meski kini lebih diragukan dalam hal pendapatan dibandingkan wiraswastawan.

Penilaian publik terhadap suatu pekerjaan tak semata-mata didasari oleh besaran penghasilan yang dapat diraih dari profesi tertentu. Faktor gaji atau pendapatan menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menilai bagus atau tidaknya sebuah pekerjaan, seperti diakui oleh satu dari empat responden.

Akan tetapi, masih ada pertimbangan lain yang dianggap lebih penting. Situasi dan kondisi lingkungan kerja serta jenis kegiatan yang dikerjakan menjadi dua faktor teratas pertimbangan publik dalam menilai suatu pekerjaan.

Asal kerja

Selain bidang pekerjaan yang berterima secara umum, sejumlah pekerjaan di bidang jasa yang selama ini cenderung terpinggirkan mendapat definisi baru seiring perkembangan zaman. Jenis pekerjaan ini bahkan tidak muncul dalam daftar pekerjaan yang disebut publik.

Pekerjaan yang dimaksud adalah tukang ojek dan penjaga toko. Sekitar separuh publik berpendapat, tukang ojek yang biasa mangkal bukanlah profesi yang membanggakan dan menghasilkan uang banyak. Namun, kemajuan teknologi yang mendorong munculnya bisnis baru yang memanfaatkan aplikasi dalam operasional jasa tukang ojek mengubah citra profesi ini.

Ribuan orang, termasuk yang berpendidikan tinggi, melamar untuk menjadi tukang ojek pada dua perusahaan ojek aplikasi bernama Go-Jek dan GrabBike. Di mata sepertiga publik, pekerjaan sebagai tukang ojek berbasis aplikasi dapat menghasilkan uang banyak. Sedangkan sepertiga publik lainnya tak hanya beranggapan demikian. Mereka memandang pekerjaan tersebut sebagai profesi yang membanggakan.

Saat ini, ojek aplikasi, atau kerap disebut driver, bergerak memakai jaket dan helm seragam sambil terus-menerus berkomunikasi melalui gawainya. Citra mereka jauh dari citra tukang ojek yang biasanya mangkal di pinggir jalan dengan gaya cenderung lusuh dan pelayanan yang terkesan kurang profesional.

Betapapun, tingginya persaingan mendapatkan pekerjaan seringkali menafikan seberapa membanggakannya suatu pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2015 angka pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 5,8% dari total angkatan kerja 128,3 juta orang. Tenaga kerja menyerbu pasar kerja dengan tak lagi menempatkan kebanggaan pekerjaan di urutan teratas. Yang penting, dapat pekerjaan! Nah... 

(Litbang Kompas/Sugihandari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia