WTO akan selesaikan isu-isu termudah dalam Doha Round



JAKARTA. Sepuluh tahun sudah Doha Development Round gagal diselesaikan. Perundingan perdagangan internasional prakarsa World Trade Organization (WTO) itu mandek dengan kompleksnya kepentingan ekonomi dan politik negara-negara di dunia. Tahun ini, Doha pun bakal molor lagi. Sebagai solusinya, WTO akan menyelesaikan agenda-agenda yang paling mudah dulu.

Di tahap awal, menurut Dirjen WTO Pascal Lamy, WTO akan melakukan “early harvest” atau merampungkan agenda yang tidak terlalu sensitif di antara 20 agenda yang ada. “Kami menyelesaikan yang paling mudah sambil menunggu penyelesaian yang lainnya, ujarnya pada forum World Economic Forum on East Asia, Senin (10/6).

Isu-isu awal tersebut antara lain soal pembebasan tarif dan kuota bagi negara-negara yang belum berkembang alias Least Developed Countries (LDC). Selain itu, soal fasilitasi perdagangan yakni siapa yang akan membiayai dan siapa yang akan mendapatkannya. Isu lain yang kemungkinan juga bisa rampung adalah soal kompetisi dalam ekspor produk pertanian dan subsidinya.


Di pihak lain, isu penurunan tarif industri takkan bisa kelar cepat. Lamy meminta negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand untuk membantu penyelesaian sumbat botol negosiasi Doha itu.

Ia mengatakan, ada jurang besar dengan Amerika Serikat di satu sisi dan China di sisi lain, sedang India dan beberapa negara lainnya di sisi yang lain lagi. Negara-negara maju ingin negara-negara berkembang besar memangkas tarif hingga nol persen seperti yang mereka lakukan. Namun, China dan beberapa negara menolaknya. “Ini adalah satu dari 20 isu yang ada. Namun, 19 isu lainnya, menurut pandangan saya, cukup matang dan bisa diselesaikan ,” ujarnya.

Membiarkan Doha gagal

Saking lamanya Doha mandek, pihak-pihak yang skeptis dengan Doha mempertanyakan kenapa WTO tak membiarkan Doha gagal saja. Toh, ada ataupun tak ada Doha, perdagangan dunia selama ini tetap berjalan.

Menanggapi pertanyaan ini, Lamy menjawab setengah bercanda bahwa tak ada negosiasi internasional yang gagal, yang ada hanyalah negosiasi itu tertunda. “Tidak berjalan, namun juga tidak gagal,” ujarnya. Ia mencontohkan berbagai negosiasi internasional seperti pelucutan senjata yang tak mudah untuk diselesaikan.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menambahkan bahwa kegagalan Doha justru tak baik bagi negara berkembang. “Jika Doha gagal, ini akan menambah ketidakpastian dan kesulitan untuk mereformasi kebijakan perdagangan dalam negeri,” ujarnya. Sebab, perjanjian atau kerangka internasional akan menjadi salah satu acuan untuk memperbaiki kebijakan.

Dalam wawancara terpisah sebelumnya, Mari mengatakan posisi Indonesia adalah terus mendukung penyelesaian Doha. Bagi negara berkembang, Doha merupakan ajang untuk menegosiasikan kepentingan mereka. “Jika negosiasi satu lawan satu dengan negara maju, belum tentu negara berkembang bisa menang,” ujarnya.

Editor: Djumyati P.