JAKARTA. Indonesia sebagai negara agraris yang tidak mampu berswasembada pangan sedikit banyak dipengaruhi oleh skema liberalisasi perdagangan WTO. WTO telah terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa agar negara-negara berkembang tetap dalam kendali pengaruh mereka. Demikian diungkapkan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, yang mengatakan hampir semua negara berkembang sebagian besar penduduknya menggantungkan nasibnya di sektor pertanian.
Kehidupan mereka akan semakin terancam dan sekarang sudah nyata-nyata terancam setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO. "Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal oleh produk pertanian impor. Negara berkembang semakin tergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan untuk rakyatnya. Ini menggerus keamanan pangan mereka, tidak terkecuali Indonesia," kata Fadel dalam pernyataan resminya, Minggu (1/12/2013). Menurutnya, AoA (Agreement on Agriculture) adalah masalah utama WTO, karena negara maju memang tidak memberikan tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil seperti G-33 dan G-90. Indonesia dan Filipina, kata Fadel, menjadi motor yang menolak proposal negara-negara maju sehingga terjadi perlawanan terhadap upaya negara maju yang ingin mendomininasi akses pasar dengan tetap melakukan subsidi domestik dan subsidi ekspor. "Sayangnya kita tidak konsisten. India dan Brazil menolak kebijakan pertanian WTO yang mencelakakan petaninya melalui konferensi tingkat menteri di Cancun 10 tahun yang lalu. Kita justru memperkenalkan program yang absurd MP3EI," kata Wakil Ketua Umum Golkar tersebut.
Dijelaskannya, Program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan turunan dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia Tenggara. Menurut Fadel, penataan ini dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja antar wilayah, demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia pada dasarnya merupakan turunan dari pemikiran ekonomi Neo Liberal (Neolib). "MP3EI semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial yang sejak Indonesia merdeka belum berubah. Disini konsentrasi penguasaan tanah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan lainnya dan hanya menempatkan rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja," ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan