Xi Jinping Melunak, Kebijakan Nol-COVID-19 Bakal Berakhir?



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Presiden China Xi Jinping menunjukkan sikap melunak yang langka terjadi ketika Beijing berupaya membatalkan beberapa kebijakan COVID-19 yang lebih ekstrem. Hal tersebut diungkapkan oleh mantan pemimpin aksi demonstrasi Lapangan Tiananmen.

"Sulit untuk memprediksi hasil dari unjuk rasa sekarang," kata Zhou Fengsuo, seorang aktivis hak asasi manusia dan mantan pemimpin mahasiswa selama protes Lapangan Tiananmen, kepada Newsweek. 

Dia menambahkan, "Tapi kami sudah melihat beberapa pelonggaran kebijakan 'nol-COVID', yang merupakan tampilan kelemahan yang jarang terjadi pada Xi Jinping."


Melansir Fox News, aksi unjuk rasa telah menyebar ke sejumlah kota di seluruh China karena penduduk menentang kebijakan ketat "nol-COVID" di negara itu. Dalam kebijakan nol-COVID,  pemerintah daerah akan mengunci kota dan melakukan pengujian massal setelah mendeteksi beberapa kasus COVID-19.

Kebijakan tersebut membatasi jumlah kematian hingga di bawah 6.000 di antara 1,4 miliar penduduknya. Akan tetapi, penduduk sudah bosan dengan pembatasan keras yang diberlakukan pada aturan hidup mereka selama tiga tahun setelah virus pertama kali menyebar.

Baca Juga: Meski Demonstrasi Pecah di China, Beijing akan Pertahankan Kebijakan Nol-Covid-19?

Pejabat di wilayah Xinjiang selama akhir pekan mulai melonggarkan pembatasan di daerah dengan penyebaran komunitas rendah. Mereka menyatakan bahwa wilayah mereka pada dasarnya telah mencapai "masyarakat 'nol-COVID'". Para ahli percaya bahwa Beijing telah mengubah arah untuk membantu memadamkan gejolak aksi protes.

Namun, unjuk rasa terus menyebar di media sosial dalam selang waktu yang jarang terjadi seiring dengan adanya jaringan sensor China. Hal ini tampak dari video yang muncul di Twitter dan TikTok yang menunjukkan demonstrasi di kota-kota di seluruh negeri.

Beberapa aksi protes termasuk nyanyian anti-Partai Komunis China (PKC).

"Sebagai orang yang selamat dari pembantaian Tiananmen, saya menangis saat menyaksikan pengunjuk rasa meneriakkan 'akhiri Partai Komunis China' di Shanghai, tempat kelahiran PKC," kata Zhou.

Zhou bilang, saat ini, Xi Jinping masih memegang kendali penuh di dalam PKC. Tapi kendali ketatnya juga berarti bahwa sistem tidak dapat menghadapi kejutan karena bawahannya tidak mau mengambil inisiatif tanpa instruksi eksplisit dari Xi. 

Baca Juga: Xi Jinping Dituntut Mundur, China Isyaratkan Tak Ada Perubahan Kebijakan Nol-Covid-19

"Selain itu, sistem 'nol-COVID' sudah habis. Tapi pada tahap ini, dia masih mengakar."

Para ahli berspekulasi bahwa kebijakan Beijing tidak dapat dipertahankan, tetapi pemerintah tidak dapat sepenuhnya membatalkan kebijakannya sampai lebih banyak populasi divaksinasi. Ini berarti, kebijakan "nol COVID" dapat bertahan selama satu tahun lagi.

Beijing telah melihat beberapa lingkungan setempat mengizinkan penduduk dengan kasus COVID-19 ringan atau tanpa gejala untuk mengisolasi diri di rumah daripada melapor ke fasilitas karantina besar.

Kementerian Luar Negeri China membela tanggapan virusnya, dengan mengatakan bahwa fakta telah membuktikan bahwa tindakan tanggapan epidemi China berbasis sains, benar, dan efektif. Kemenlu China menambahkan bahwa AS memiliki jumlah kematian yang jauh lebih tinggi.

Pemerintah Xi telah berjanji untuk mengurangi gangguan strategi "nol-COVID" dengan mempersingkat karantina dan membuat perubahan lainnya. Namun, dikatakan akan tetap berpegang pada pembatasan yang telah berulang kali menutup sekolah dan bisnis serta menangguhkan akses ke lingkungan. 

Dinilai kejam

Mengutip Politico, Anthony Fauci, pensiunan pejabat tinggi dalam tanggapan Amerika Serikat terhadap pandemi Covid-19, mengkritik tanggapan keras pemerintah China terhadap Covid-19. Kebijakan nol-Covid di Negeri Panda itu telah memicu aksi protes besar-besaran. 

"Pendekatan mereka sangat, sangat parah dan agak kejam dalam jenis penutupan tanpa tujuan yang jelas," kata Fauci kepada pembawa acara Chuck Todd dalam wawancara untuk acara "Meet The Press".

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie