Selain pembatasan jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba, salah satu pasal yang memicu kontroversi adalah soal pembatasan penjualan maupun penggunaan produk impor dalam usaha waralaba. Maklum, masih banyak pelaku waralaba yang mengandalkan bahan baku, peralatan atau menjual produk impor saat menjalankan usahanya.Aturan itu menyebutkan, para pelaku waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual produk lokal minimal 80%. Namun, pemerintah juga akan memberi izin penggunaan bahan lokal boleh kurang dari 80%, dengan mempertimbangkan rekomendasi tim penilai.Menurut Hendy Setiono, CEO Babarafi Entreprise, aturan ini meresahkan kalangan pemilik waralaba, khususnya yang bergerak di bidang restoran. Sebab, “Masih banyak restoran, terutama yang mengolah daging sapi, menggunakan daging impor,” katanya.Pasalnya, selain harga daging sapi lokal yang lebih mahal ketimbang daging impor, pasokan daging lokal belum bisa memenuhi permintaan. “Apalagi, saat ini, ada pembatasan impor daging pula,” kata Hendy yang mengklaim waralabanya telah menggunakan bahan baku lokal hingga 90%.Selain itu, restoran-restoran tertentu masih harus menggunakan produk impor karena memang tak ada produk lokal yang bisa jadi substitusi. “Misalnya, untuk produk frozen yoghurt, belum ada bubuk premix produksi lokal, semua harus diimpor dari Amerika,” ujar Hendy.Pengelola Restoran Aji Tei dan Ajisen Ramen pun tetap harus mengimpor bakmi dan pasta untuk membuat sup. “Impor kami mencapai 30% hingga 40%, karena memang belum ada produk dalam negeri yang memenuhi standar. “Jelas tidak bisa kalau dibatasi produk lokal harus sampai 80%,” tutur Wi-narto Limena, Manager Operational PT Panca Gitasari Lestari, pengelola waralaba Restoran Aji Tei dan Ajisen Ramen.Para pelaku pun berharap agar tim penilai nantinya benar-benar mempertimbangkan dari sudut pandang bisnis. Dalam arti, apakah bahan baku impor tersebut memungkinkan untuk diperoleh substitusinya. “Kalau tidak bisa, mohon dipertimbangkan pemberian rekomendasi sehingga keberlangsungan bisnis tetap berjalan,” kata Hendy. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama
Yang penting, usaha tetap berjalan
Selain pembatasan jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba, salah satu pasal yang memicu kontroversi adalah soal pembatasan penjualan maupun penggunaan produk impor dalam usaha waralaba. Maklum, masih banyak pelaku waralaba yang mengandalkan bahan baku, peralatan atau menjual produk impor saat menjalankan usahanya.Aturan itu menyebutkan, para pelaku waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual produk lokal minimal 80%. Namun, pemerintah juga akan memberi izin penggunaan bahan lokal boleh kurang dari 80%, dengan mempertimbangkan rekomendasi tim penilai.Menurut Hendy Setiono, CEO Babarafi Entreprise, aturan ini meresahkan kalangan pemilik waralaba, khususnya yang bergerak di bidang restoran. Sebab, “Masih banyak restoran, terutama yang mengolah daging sapi, menggunakan daging impor,” katanya.Pasalnya, selain harga daging sapi lokal yang lebih mahal ketimbang daging impor, pasokan daging lokal belum bisa memenuhi permintaan. “Apalagi, saat ini, ada pembatasan impor daging pula,” kata Hendy yang mengklaim waralabanya telah menggunakan bahan baku lokal hingga 90%.Selain itu, restoran-restoran tertentu masih harus menggunakan produk impor karena memang tak ada produk lokal yang bisa jadi substitusi. “Misalnya, untuk produk frozen yoghurt, belum ada bubuk premix produksi lokal, semua harus diimpor dari Amerika,” ujar Hendy.Pengelola Restoran Aji Tei dan Ajisen Ramen pun tetap harus mengimpor bakmi dan pasta untuk membuat sup. “Impor kami mencapai 30% hingga 40%, karena memang belum ada produk dalam negeri yang memenuhi standar. “Jelas tidak bisa kalau dibatasi produk lokal harus sampai 80%,” tutur Wi-narto Limena, Manager Operational PT Panca Gitasari Lestari, pengelola waralaba Restoran Aji Tei dan Ajisen Ramen.Para pelaku pun berharap agar tim penilai nantinya benar-benar mempertimbangkan dari sudut pandang bisnis. Dalam arti, apakah bahan baku impor tersebut memungkinkan untuk diperoleh substitusinya. “Kalau tidak bisa, mohon dipertimbangkan pemberian rekomendasi sehingga keberlangsungan bisnis tetap berjalan,” kata Hendy. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama