Polemik tarif cukai, seperti berapa kenaikannya, apakah makin sederhana, dan bagaimana nasib tenaga kerjasaat Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan pada 2019 tak ada perubahan tarif cukai, termasuk penyederhanaan struktur tarifnya. Keputusan menteri ini tertuang dalam PMK 156/PMK.010/2018. Keputusan ini mengagetkan banyak kalangan, termasuk pelaku industri rokok. Apalagi bagi mereka yang memerangi konsumsi tembakau di Indonesia atau sering disebut antirokok. Putusan ini menjadi anti klimaks hiruk-pikuk proposal rokok Rp 70.000, rokok biang stunting, dan biang kemiskinan. Saat permintaan tak dituruti,
ending-nya pemerintah dituding dalam kungkungan industri. Menteri Keuangan sudah mendengar semua masukan dan saran, dan melihat persoalan ini tidaklah sederhana. Namun ada catatan yang bisa menjadi refleksi diri bangsa kita.
Sektor ini milik bersama, bukan monopoli segelintir kementerian atau lembaga. Istilahnya satu angsa, sejuta yang punya. Sang empunya saat ini jalan sesuai dengan kepentingannya. Ada yang ingin memelihara untuk mengambil telornya atau kontribusinya. Ada yang ingin mengebirinya produksinya. Yang paling ekstrem meski tak tersurat, ada yang ingin menyembelihnya karena eksternalitis-nya. Di antara sekian kali pembuatan kebijakan, proses penyusunan kebijakan tahun 2018 paling fenomenal. Tercatat surat yang masuk ke Bea dan Cukai mencapai 53 surat. Jumlah ini naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Komposisinya 17% dari antirokok, dan 83% proindustri. Meskipun demikian konten suratnya cenderung mirip bahkan ada yang copy paste saja. Fenomena ini terjadi di dua pihak, baik dari yang antirokok maupun yang proindustri. Kesimpulannya, surat-surat itu bersumber hanya dari beberapa pihak, meskipun pengirimnya dari banyak organisasi. Para tokoh masyarakat, baik eksekutif maupun legislatif, juga menyampaikan masukannya melalui berbagai media. Keterbukaan informasi di sektor tembakau menjadikan mudah ditelaah dari berbagai sisi. Banyak pola komunikasi tingkat tinggi dilakukan untuk menyuarakan kepentingan yang mereka wakili. Tak hanya dari pihak industri, tapi dari pihak antirokok juga melakukan hal yang sama. Ada rekomendasi dari pihak industri dengan dibalut isu kesehatan. Sebaliknya, dari kalangan antirokok memberi masukan berselimut persaingan usaha. Namun ending goals-nya pengendalian rokok. Ada juga usulan dari beberapa tokoh yang justru bertentangan dengan tujuan rekomendasinya. Masukannya, agar dilakukan simplifikasi tarif cukai dalam menyehatkan industri. Sang pengusul tak paham, secara matematis simplifikasi itu harus menaikkan tarif cukai lebih tinggi untuk golongan kecil, dibandingkan golongan besar. Yang ada justru mematikan yang kecil dan memberi keuntungan bagi pabrik besar. Jika dilakukan, hal ini berpotensi monopoli atau minimal oligopoli. Sesuatu yang bertolak belakang dengan industri yang sehat. Rekomendasi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) pegiat antirokok terkait kebijakan tarif cukai ternyata jauh lebih ekstrem, bahkan dibandingkan dengan rekomendasi World Health Organization (WHO). Untuk pengendalian konsumsi rokok Indonesia, menurut mereka, kenaikan tarif cukai paling tidak sama dengan tahun sebelumnya. Artinya tarif cukai tahun 2019 paling tidak naik 10,04%. Dari aspek harga jual rokok, LSM Indonesia menghendaki harga jual rokok Rp 70.000 sebungkus. Padahal, American Cancer Society merekomendasikan untuk mencapai sustainable development goals (SDGs) harga rokok pada 2025 hanya Rp 57.000 sebungkus. Seperti tidak ada arti Tren pertumbuhan produksi rokok negatif, yakni -0,02. Secara nominal, produksi rokok juga turun. Fenomena ini dikuatkan oleh Riset Kesehatan Dasar yang menunjukan prevalensi global Indonesia turun dari 36,3 menjadi 32,8. Jumlah pabrik rokok turun ekstrem dari 5000 pabrik pada 2005 dan kini tinggal 700 pabrik. Dari banyak diskusi, angka-angka di atas seperti tak punya arti bagi kalangan antirokok. Selalu ada standar lebih yang dituntut. Ketika prevalensi global turun, mereka akan melihat prevalensi usia muda yang tumbuh. Ketika jumlah pabrik turun, mereka mengatakan itu faktor biasa saja, bukan karena cukai. Peraturan menteri keuangan yang mengatur hubungan keterkaitan antar pabrik telah menaikan tarif cukai sekitar 20 pabrik di atas 30% pada 2013. Beberapa di antaranya tutup. Tapi tidak satupun peneliti mengapresiasi. Selalu ada barometer baru dari penggiat antirokok. Yang muncul selalu kekurangan, bukan pencapaian optimal di tengah keterbatasan. Meminjam ungkapan Berty Vogts saat dia tidak disukai publik Jerman kala melatih De Panser, Bahkan jika saya berjalan di atas air, mereka akan mengolok-olok saya tak bisa berenang. Yang terakhir, yang tercecer dari putusan tidak naiknya cukai rokok adalah masuknya variabel rokok ilegal dalam konsideran pembuatan kebijakan tarif cukai 4 tahun terakhir. Ada anggapan, ini bagian dari influence konspirasi industri rokok. Bagi mereka, antara rokok ilegal dengan tarif cukai adalah independen sama sekali. Rokok ilegal hanya urusan pengawasan dan penindakan faktor utamanya. Bea dan Cukai telah mengurangi rokok ilegal. Jika 2016 masih 12,1%, di 2018 tinggal 7,04%. Di Malaysia rokok ilegalnya 54,2% dan di Pakistan 43,7%. Posisi Indonesia selisih sedikit dengan Singapura dan Vietnam. Namun kedua negara tersebut tak sekompleks dan tidak seluas Indonesia. Hasil penindakan menunjukkan 64,01% rokok ilegal berasal dari pabrik unregister atau tidak terdaftar izinnya. Jenis rokoknya juga rokok polos atau tanpa pita cukai. Harganya Rp 7.000–Rp 8000 sebungkus. Lokasi penyebaran di daerah rural dan perkebunan, dengan rata-rata konsumen berpendapatan rendah.
Pertanyaannya, tepatkah menaikkan ekstrem harga rokok legal di segmen itu? Karena di saat sama, pabrik unregister dan rokok polos tak bayar cukai? Di Kudus, Malang, dan Sidoarjo membuat rokok layaknya membuat wine di wilayah Champagne Prancis. Telah mengakar dan turun temurun, siapa saja bisa. Tentu saja, tak ada gading yang tak retak dan tak ada kebijakan yang memuaskan semua pihak. Masih butuh peta komprehensif dan di sepakati bersama ke mana sektor ini akan dibawa. Bahkan, ketika bertemu dengan lembaga internasional, harusnya suara kita pun sama. Kita tahu, Kuba dengan cerutu-nya seolah tak tersentuh FCTC. Begitu pula produksi wine di Prancis. Padahal, barang yang diproduksi keduanya sama menimbulkan addict dan harus dikendalikan dengan cukai.•
Sunaryo Kartodiwiryo Kasubdit Tarif Cukai, Bea dan Cukai Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi