Yield Global Bond Bukan Benchmark



JAKARTA. Pemerintah meradang. Departemen Keuangan tidak terima disebut-sebut sudah memberikan imbal hasil atau yield yang kelewat mahal terhadap surat utang negara (SUN) bermata uang dolar Amerika Serikat (AS), terutama dua obligasi global yang terbit akhir Februari 2009 dengan bunga masing-masing sebesar 10,375% dan 11,625%.

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto balik menuding, banyak pengamat surat utang yang tidak tahu pasar dan manajemen utang. Soalnya, "Mereka menggunakan yield global medium term notes (GMTN) saat pricing pada Februari 2009 sebagai benchmark untuk obligasi korporasi saat ini," katanya kepada KONTAN, Selasa (26/5).

Semestinya, Rahmat bilang, para pengamat memakai most current secondary market yield GMTN yang sudah turun. Dengan begitu, tidak bisa dibilang, imbal hasil obligasi korporasi tinggi, lantaran bunga surat utang Pemerintah valas tinggi. "Mereka tidak paham konsep bond pricing!" tandasnya.


Rahmat menjelaskan, yield obligasi global alias global bond sudah mencerminkan eksekusi transaksi yang efisien pada kondisi pasar saat penerbitan. Penjualan GMTN valas juga telah mengurangi tekanan di pasar domestik. Sehingga, yield surat utang Pemerintah berdenominasi rupiah turun tajam sejak Februari sampai Mei lalu. Misalnya, yield SUN jangka pendek turun 330 basis poin. "Ini pengaruh positif global bond," kata Rahmat.

Sekadar mengingatkan, sejumlah pengamat menuding, Pemerintah memberi yield terlalu tinggi bagi obligasi global yang terbit akhir Februari lalu. Padahal, dalam waktu yang sama, Filipina yang peringkat utangnya lebih rendah hanya memberikan yield 8%. Dihitung-hitung, Pemerintah mesti membayar bunga dua obligasi itu, masing-masing US$ 103,75 juta dan US$ 232,5 juta setahun. Beban ini berlangsung terus sampai obligasi itu jatuh tempo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan