KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Yield atau imbal hasil obligasi pemerintah tengah dalam tren menurun. Redanya tekanan suku bunga dan masuknya investor asing (
inflow) ke obligasi tanah air menjadi pendukungnya. Senior Vice President Head of Retail Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi mencermati bahwa sejak akhir tahun 2022 yield terus bergerak turun. Yield obligasi acuan (benchmark) 10 tahun telah mengalami penurunan dari level 6.90% hingga menyentuh level terendah 6.55% di awal bulan Februari 2023. "Penurunan tingkat imbal hasil ini didorong oleh masuknya investor asing ke pasar obligasi pemerintah," kata Reza kepada Kontan.co.id, Kamis (9/2).
Sejak awal tahun, porsi asing memang terus bertambah seperti di pasar Surat Utang Negara (SUN) menjadi sekitar 15% dari 14%. Mengutip laman DJPPR, jumlah dana asing di pasar SUN bertambah sebesar Rp 53,29 triliun menjadi Rp 816 triliun per tanggal 7 Februari 2023. Reza bilang, fundamental Indonesia yang mampu menarik minat investor asing masuk ke pasar obligasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik di tahun 2022 sebesar 5.31%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi di 2021 sebesar 3,69%. Selain itu, rupiah juga sempat di bawah level Rp 15.000 per dolar AS. Serta, cadangan devisa naik menjadi US$ 139 miliar dari US$ 137 miliar pada Januari 2023.
Baca Juga: Schroder: IHSG Tertekan, Sementara Pasar Obligasi Menguat pada Januari 2023 Reza melihat bahwa posisi
yield obligasi negara saat ini memiliki tingkat risiko yang mengecil. Dari sisi
spread dengan US Treasury 10 tahun berkisar pada 300 bps hingga 350 bps. Ini jauh lebih kecil dibandingkan sepanjang 2022 yang berkisar 400 bps-490 bps. HPAM melihat potensi penurunan
yield SUN acuan 10 tahun di 2023 ke level 6.25%-6.40%. Kenaikan tingkat suku bunga acuan yang dilakukan BI pada bulan Januari menjadi 5.75% diperkirakan adalah yang terakhir, seiring target inflasi tahun ini berada pada level 3.5% - 4.0%. Dari sisi pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada pada level 4.8%- 5.2% pada tahun 2023. Menurut Reza, perlu diperhatikan faktor eksternal adalah sikap dari The Fed dalam mengatasi inflasi. Pasalnya, Gubernur bank sentral AS menyatakan masih akan terus mengupayakan penurunan inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunganya. Reza berujar bahwa berinvestasi pada obligasi adalah langkah baik untuk nasabah yang memiliki horison investasi menengah hingga panjang, sehingga nasabah sebaiknya melakukan pembelian secara bertahap dan rutin. Nasabah perlu menerapkan strategi
dollar-cost averaging (DCA). Apabila terjadi koreksi, nasabah tidak perlu panik, dan tetap melakukan pembelian.
Baca Juga: MSCI akan Umumkan Perubahan Status Free Float Sekuritas Adani Director & Chief Investment Officer Fixed Income, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula menilai,
yield obligasi pemerintah saat ini turun ke level sekitar 6.6% dengan membaiknya sentimen global. "Kenaikan suku bunga global dan domestik sudah mendekati level puncaknya. Investor asing juga kembali masuk ke pasar obligasi tanah air," ujar Ezra kepada kontan.co.id, Kamis (9/2). Manulife memproyeksikan
yield SUN tenor 10 tahun bisa turun ke level 6.5% dan bahkan dapat di bawah itu, selama
inflow asing tetap kuat. Namun, Ezra bilang, arah kebijakan The Fed dan data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) tetap menjadi faktor yang mesti diperhatikan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari