Yield SUN 10 Tahun Menanjak, Masih Menarik?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield SUN 10 tahun masih dalam tren naik di tengah melandainya yield US Treasury (UST). Kenaikan yield SUN dinilai akibat aksi profit taking di pasar surat utang negara (SUN).

Berdasarkan data Trading Economics, yield SUN 10 tahun berada di level 6,95% pada Jumat (29/11) pukul 20.02 WIB. Angka itu naik 0,08% dalam sepekan sehingga mengakumulasi kenaikan 0,15%. Sementara itu, UST berada di 4,22% turun 0,19% dalam sepekan dan sebulan terakhir melandai 0,08%.

Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin menilai, naiknya yield SUN 10 tahun akibat taking profit yang dilakukan asing. Maklum, selama Juli-September 2024, harga surat utang pemerintah menguat signifikan (yield SUN 10 tahun turun tajam dari 7,2% menjadi 6,4% pada akhir September 2024).


Pemangkasan suku bunga oleh bank sentral di negara maju, terutama pemangkasan jumbo oleh the Fed pada September lalu, mendorong modal asing mengalir deras ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Asing membukukan beli bersih sebesar Rp 62,49 triliun selama periode tersebut.

Baca Juga: Ini Saham yang Masuk Dalam Efek Tidak Dijamin Pada 2024, Ada Dampaknya ke Investor?

Aliran masuk dana asing kemudian masih mengalir masuk selama Oktober 2024, mencapai Rp 14,98 triliun, terutama di minggu-minggu pertama. "Situasi ini kemudian membuat harga surat utang pemerintah menjadi semakin mahal bagi investor dan membuat asing kurang tertarik untuk masuk lagi. Sebaliknya, mereka menunggu momen yang tepat untuk taking profit," terangnya kepada Kontan.co.id, Jumat (29/11).

Momen yang tepat kemudian hadir. Akhir Oktober 2024, situasi geopolitik memanas setelah serangan balasan Iran.

Perang juga meluas dan melibatkan Hizbullah yang bermarkas di Lebanon. Aksi jual mereka berlanjut di November 2024 setelah Trump menang dan Perang Rusia-Ukraina kembali memanas.

Sebagai hasilnya, asing membukukan jual bersih Rp 12,17 triliun di pasar surat utang pemerintah selama 1-25 November.

Baca Juga: Pasar Obligasi Diprediksi Cenderung Positif di Kamis (28/11)

Meski begitu, Pefindo mengantisipasi asing akan kembali masuk. Menurut Ahmad, asing menunggu titik entry yang tepat.

"Koreksi harga baru-baru ini menjadi peluang mereka untuk membeli dengan harga lebih murah daripada sebelumnya. Selain itu, depresiasi rupiah juga memungkinkan mereka membeli lebih banyak unit karena mereka bisa mendapatkan lebih banyak rupiah untuk setiap dolar yang mereka tukar untuk membeli," sebutnya.

Di tengah kondisi itu, Ahmad berpandangan pasar surat utang domestik masih akan tetap menarik hingga akhir tahun. Menurutnya, koreksi harga baru-baru ini menjadi peluang bagi investor untuk memburu imbal hasil tinggi sebelum menjadi langka ke depan seiring dengan berlanjutnya pemangkasan suku bunga.

Baca Juga: Kepemilikan Asing di SBN Hanya 14,98% per Oktober 2024

Selain itu, ketidakpastian global ke depan juga masih tinggi. Kebijakan Trump dinilai bisa jadi akan mengundang pembalasan dari negara lain, terutama dari China yang akan menjadi sasaran target kenaikan bea masuk impor sebesar 60% oleh Trump.

Selain itu, situasi geopolitik juga belum juga mereda. Ahmad berpandangan di tengah ketidakpastian ini, investor kemungkinan masih akan berhati-hati untuk mengambil lebih banyak risiko demi mengejar return dan menjadikan aset safe-haven sebagai pilihan.

"Obligasi pemerintah bisa menjadi pilihan karena lebih aman dibandingkan dengan kelas aset lainnya seperti saham atau obligasi korporasi," sebutnya.

Hanya saja, dari sisi korporasi, kenaikan yield surat utang pemerintah menjadi beban bagi korporasi karena membuat biaya dana yang mereka dapatkan dari menerbitkan surat utang menjadi lebih mahal. "Ketika mereka menerbitkan surat utang, mereka harus menawarkan kupon yang tinggi karena yield benchmark naik," sambungnya.

Baca Juga: Utang Pemerintah Naik Jadi Rp 8.560 Triliun per Oktober 2024

Kepala Divisi Riset Ekonomi Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto menilai penerbitan obligasi korporasi tetap semarak. Menurutnya, perilaku wait and see sudah tidak akan sebesar sebelumnya.

"Mengingat arah kebijakan moneter sebenarnya sudah lebih jelas ke arah pelonggaran, tinggal menunggu momentum terkait kapan suku bunga di dalam negeri bisa dipangkas kembali agar beban dari suku bunga tinggi bisa lebih diturunkan," sambungnya.

Suhindarto berpandangan yield akan bergerak turun ke rentang 6,31%-6,69% dari 6,60%-7,20% di tahun ini. Dia mengasumsikan pemangkasan suku bunga akan berlanjut di tahun depan sehingga mendorong yield menyesuaikan turun.

Untuk tahun depan, prospek pasar surat utang juga dinilai akan positif di 2025, meskipun memang tetap terdapat sejumlah tantangan. Misalnya, prospek keberlanjutan pelonggaran moneter di AS melemah karena kenaikan tarif impor dan kebijakan pro-pertumbuhan dalam negeri di AS.

Baca Juga: Obligasi Korporasi Dinilai Bisa Jadi Alternatif di Tengah Lesunya Pasar, Ini Sebabnya

Lalu, arah kebijakan ekonomi akan menjadi lebih sulit diperkirakan karena kebijakan proteksionis Trump dan tensi geopolitik kemungkinan masih akan berlangsung di tahun depan.

Sementara katalis pendukungnya dari berlanjutnya pemangkasan suku bunga, tingkat inflasi diharapkan akan terus berada pada rentang target Bank Indonesia, dan imbal hasil yang tinggi lebih tinggi dibandingkan negara rating sejenis di BBB.

Suhindarto juga memperkirakan peringkat sovereign juga diperkirakan masih akan bertahan di investment grade. Sehingga membuat pasar domestik tetap menjadi incaran investor asing.

Selanjutnya: Ini Saham yang Masuk Dalam Efek Tidak Dijamin Pada 2024, Ada Dampaknya ke Investor?

Menarik Dibaca: GATF 2024, Promo Harga Tiket Pesawat Garuda dari Jakarta ke Jepang PP Rp 5,5 Juta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati