Yield SUN masih naik meski ada penurunan suku bunga



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) Indonesia saat ini tengah berada dalam tren kenaikan. Di sisi lain, The Fed telah memangkas suku bunganya menjadi 0,25%. Menjadikannya rekor terendah sejak krisis finansial yang terjadi pada 2008 silam.

Banyak kalangan menilai keputusan The Fed tersebut membuka ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk ikut melakukan pemangkasan suku bunga. Saat ini, suku bunga acuan BI sendiri berada di level 4,75%.

Direktur Panin Asset Management (Panin AM) Rudiyanto tak memungkiri secara teori, setiap suku bunga turun maka harga obligasi akan naik. Dengan demikian akan menguntungkan bagi reksadana pendapatan tetap. Tapi untuk saat ini, Rudiyanto melihat hal tersebut tidak terjadi.


Baca Juga: Reksadana pendapatan tetap akan diuntungkan pemangkasan suku bunga

“Tetapi untuk saat ini fluktuasi jangka pendek akan tetap bisa terjadi meski pemangkasan suku bunga dilakukan. Karena pemangkasan ini imbas dari persebaran wabah corona semakin meluas di luar China termasuk Indonesia,” terang Rudiyanto kepada Kontan.co.id, Senin (16/3).

Head of Investment Avrist Asset Management (Avrist AM) Farash Farich juga menyerukan pendapat yang sama. Farash menyebut, The Fed sudah turunkan 150 bps pada tahun ini sementara BI baru 25 bps. Sehingga menurutnya, besar kemungkinan BI akan memangkas suku bunga.

“Harga obligasi tidak serta merta naik, justru akan mengikuti tren global yang cenderung risk off. Jadi harga akan turun karena investor keluar dari risky assets termasuk emerging markets bond dan equity,” ujar Farash.

Baca Juga: IHSG tumbang sepekan, kinerja reksadana pun ikut jeblok

Sementara Fixed Income Portfolio Manager Sucorinvest Asset Management Adi Saputra melihat pemangkasan suku bunga oleh BI memang tidak bisa dihindari. Namun, ia menilai sebaiknya BI tidak meniru langkah The Fed yang memangkas secara sekaligus. Pemangkasan secara berkala menjadi langkah yang lebih tepat.

“Kalau dilakukan secara agresif yang dikhawatirkan spread kita jadi tidak terlalu atraktif terhadap US Treasury. Saat ini level 550-650 bps sudah level paling atraktif dan harus dijaga,” kata Adi.

Adi melihat situasi saat ini seperti yang terjadi pada 2008 silam. Saat itu, setelah krisis moneter membaik, likuiditas di Amerika Serikat menjadi berlimpah. Sementara yield di AS saat itu rendah dan membuat para investor mengalihkan investasinya ke emerging market, termasuk Indonesia yang punya yield menarik.

Baca Juga: The Fed pangkas suku bunga, investor khawatir kemungkinan terburuk terjadi

“Kalau tren ini berulang, saat mereda, likuiditas yang ada di market akan dialirkan ke return atraktif yang ada di emerging market. Nah kalau kita bisa menjaga level yield di 500-600 bps, begitu keadaan membalik Indonesia akan dapat inflow besar seperti 2008 silam,” jelas Adi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati