Yield tinggi, korporasi tunda terbitkan obligasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Biaya dana (cost of fund) semakin tinggi seiring yield Surat Utang Negara (SUN) seri acuan tenor 10 tahun  terus naik. Korporasi jadi berpikir ulang untuk menerbitkan obligasi. 

Berdasarkan keterbukaan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kamis (18/3), PT Bank Mandiri Taspen (Bank Mantap) mengumumkan penundaan pelaksanaan distribusi Obligasi Berkelanjutan I Bank Mandiri Taspen Tahap II Tahun 2021 sampai dengan pemberitahuan lebih lanjut. 

Sebelumnya, Bank Mantap telah mendaftarkan obligasi tersebut sejak 2 Maret. Seharusnya jika sesuai rencana, obligasi dengan jumlah pokok Rp 2 triliun tersebut akan terbit atawa didistribusikan pada Jumat (19/3). 


Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana mengatakan kondisi pasar obligasi dalam negeri sedang dilanda kenaikan yield akibat yield US Treasury yang terus naik. Jumat (19/3), yield US Treasury berada di 1,68%. 

Sementara, yield SUN acuan tenor 10 tahun berada di 6,7%. Tren kenaikan yield ini ini membuat cost of fund yang  ditanggung korporasi ketika mengeluarkan obligasi jadi semakin tinggi.

Baca Juga: Prospek reksadana campuran tersokong kinerja aset saham dan obligasi

Fikri menilai obligasi yang terbit saat yield dalam tren naik, cenderung kurang kompetitif. Senada, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan di tengah kondisi ini, korporasi harus menaikkan kupon obligasinya jika ingin menarik investor. 

"Paling tidak kupon di atas 2% dari yield SUN baru menarik, tetapi kenaikan ini bisa saja membuat korporasi harus merubah dan menghitung ulang rencana penerbitan obligasi mereka," kata Wawan. 

Tidak hanya dari sisi tingkat yield SUN. Penundaan penerbitan obligasi korporasi saat ini juga bisa terpengaruh dari pemulihan konomi yang belum terjadi sesuai dengan perkiraan. 

"Tentu menambah pertimbangan korporasi jika sudah mendapatkan dana tetapi bisnis masih belum lancar atau tidak bisa menyalurkan kredit, justru pendanaan yang diperoleh akan menjadi beban," kata Fikri. 

Namun, sikap Bank Indonesia yang tetap menjalankan akomodatif dan mempertahankan suku bunga di level rendah, Fikri nilai bisa menjaga yield tenor pendek hingga menengah tidak naik secara liar. Sebaliknya, karena dalam jangka panjang risiko di pasar obligasi memang akan naik, seiring dengan proyeksi kenaikan inflasi, maka cost of fund obligasi tenor panjang akan lebih tinggi. 

Dari sisi penyerapan surat utang korporasi, Fikri memandang likuiditas pasar saat ini masih ada. Namun, memang di tengah kenaikan yield beberapa investor cendeurng menarik diri dari aset berisiko dan cenderung masuk ke SUN. 

Baca Juga: Manulife Manajemen Aset Indonesia (MAMI) optimistis outlook tahun ini prospektif

Fikri mengatakan kondisi pasar obligasi akan kembali kondusif jika, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) semakin diperlonggar dan kestabilan rupiah terjaga sehingga investor asing kembali masuk ke pasar SUN. Dengan begitu, yield bisa menurun dan penerbitan obligasi korporasi bisa kembali ramai. 

Wawan juga menilai level yeild SUN saat ini tidak wajar. Secara fundamental, Wawan menilai Indonesia stabil. Penurunan suku bunga oleh BI juga harusnya bisa membuat yield SUN menurun. Namun, kembali lagi kenaikan yield saat ini banyak dipengaruhi oleh sentimen eksternal. 

Wawan memproyeksikan yield akan mulai menurun di kuartal II atau kuartal III tahun ini. "Bagaimana pun aksi jual SUN yang membuat yield naik akan selesai jadi aset obligasi masih akan menarik," kata Wawan. 

Di sepanjang tahun ini Wawan memproyeksikan obligasi korproasi yang terbit akan lebih banyak digunakan untuk refinancing dari pada ekspansi. 

Selanjutnya: Simak upaya Bank BTN untuk memperkuat permodalan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi