KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Yield US Treasury 10 Tahun (UST) mendekati level tertingginya tahun ini. Berdasarkan data
Bloomberg, per Jumat (29/9)
yield UST berada di level 4,59%, mendekati level tertingginya pada tahun ini di level 4,61%. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dalam satu bulan terakhir tren kenaikan
yield UST sudah mendorong kenaikan
yield obligasi Indonesia, yang sepanjang bulan September 2023 sudah mengalami kenaikan hingga 50bps ke level 6,88%. Para investor asing pun sudah melakukan aksi
net sell sebesar US$ 833 juta pada bulan September. Josua melihat investor asing melakukan aksi jual akibat ketidakpastian yang meningkat dari Amerika Serikat (AS) akibat sinyal
hawkish dari Fed serta risiko
government shutdown.
"Para investor cenderung mengalihkan modalnya dalam bentuk dolar AS, sejalan dengan aset-aset AS yang juga mengalihkan pelemahannya pada bulan September ini," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (29/9).
Baca Juga: Yield US Treasury Naik, Rupiah Berpotensi Tertekan Meski begitu, Josua menilai pemerintah diperkirakan masih akan cenderung agresif dalam penerbitan SBN di kuartal keempat 2023. Per Agustus 2023, realisasi penerbitan (net) tercatat sebesar Rp 183 triliun dari target sebesar Rp 290 triliun. "Proyeksi ini berpotensi lebih rendah bila target defisit pemerintah mampu lebih rendah dari perkiraan, sehingga kebutuhan pembiayaan menjadi semakin terbatas," kata Josua. Di sisi lain, penerbitan obligasi korporasi juga semakin gencar seiring kebutuhan pembiayaan, yang mencerminkan ekspansi dari para pelaku usaha. Selain itu, banyaknya penerbitan juga berasal dari banyaknya obligasi korporasi jatuh tempo pada akhir tahun ini. Berdasarkan data Pefindo, di kuartal IV ini terdapat Rp 27,14 triliun obligasi korporasi yang akan jatuh tempo. Rinciannya, Oktober sebesar Rp 7,51 triliun, November Rp 7,65 triliun, dan Desember sebesar Rp 11,98 triliun.
Baca Juga: Pergerakan Rupiah Senin (2/10) Masih Disetir Faktor Eksternal Presiden dan CEO PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra justru menilai kenaikan
yield bisa menjadi
entry point yang baik untuk investor dan dapat meningkatkan minat investor. "Harga obligasi pada umumnya akan terkoreksi seiring dengan kenaikan
yield sehingga potensi
upside untuk berinvestasi di obligasi lebih banyak," sebut Guntur. Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management Alvaro Ihsan menambahkan, apabila hendak masuk ke pasar obligasi investor dapat memperoleh imbal hasil yang lebih menarik dengan catatan tidak dijual hingga jatuh tempo. "Dengan kondisi
flatten yield curve, investor bisa memperoleh imbal hasil dari obligasi jangka pendek yang tidak terlalu jauh dari jangka panjang (
term spread tipis) dengan
duration risk yang lebih rendah," kata Alvaro.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,74% di Pekan Ini, Cermati Review IHSG Pekan Ini Namun tetap perlu diperhatikan
interest rate atau
duration risk apabila memiliki kebutuhan likuiditas sehingga harus menjual obligasi sebelum jatuh tempo. Sebab, apabila suku bunga masih memiliki potensi kenaikan, harga obligasi akan menurun. Selain itu, harga obligasi dengan tenor panjang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga dibandingkan tenor pendek. Sementara Josua menyarankan investor sebaiknya masuk ke pasar obligasi domestik secara gradual. Ini mengingat
yield obligasi 10 tahun yang sudah mendekati level 7%, atau setara dengan level di tahun lalu. "Dengan kenaikan suku bunga Fed yang mulai mendekati atau bahkan sudah melewati puncaknya, maka potensi
reversal di tahun depan cukup besar terjadi, terutama ketika Fed sudah memberikan sinyal pemotongan suku bunga," sambungnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati